• Beranda
  • Berita
  • Pakar: Testing dan tracing COVID-19 Indonesia masih tertinggal

Pakar: Testing dan tracing COVID-19 Indonesia masih tertinggal

26 April 2021 14:29 WIB
Pakar: Testing dan tracing COVID-19 Indonesia masih tertinggal
Ahli Genetika Molekuler dan Biokimia dari PT Kalbe Farma, Halida P Widyastuti (kanan atas) saat menjadi pembicara dalam webinar Media Gathering bertajuk "Percepatan Penanganan dan Pemulihan COVID-19" yang digelar International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Senin (26/4/2021). (ANTARA/Andi Firdaus).
Ahli Genetika Molekuler dan Biokimia dari PT Kalbe Farma, Halida P Widyastuti mengemukakan upaya Indonesia dalam melakukan pelacakan kontak dan pengetesan COVID-19 masih relatif tertinggal bila mengacu pada standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

"Kemampuan Indonesia dalam melakukan pelacakan kontak dengan pasien COVID-19 hanya sekitar delapan dari satu orang penderita. Sementara standar WHO mencapai 25 orang dari satu penderita," katanya saat menjadi pembicara dalam webinar Media Gathering bertajuk "Percepatan Penanganan dan Pemulihan COVID-19" yang digelar International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) di Jakarta, Senin.

Baca juga: Tekan kematian, pemerintah perkuat "tracing" kasus COVID-19

Namun, dengan upaya testing yang dilakukan pihak terkait di Indonesia, Hilda memaparkan data terakhir menunjukkan tingkat 'positivity rate' atau perbandingan antara jumlah kasus positif COVID-19 dengan jumlah tes yang dilakukan di Indonesia masih berkisar 12,2 persen.

"Sejauh ini Indonesia rata-rata sudah melakukan 160 tes per 1 juta orang per hari dari 1,6 juta kasus kumulatif dengan sekitar 5.336 kasus terkonfirmasi setiap hari sepanjang Maret 2021," katanya.

Sementara di Brazil, kata Hilda, rata-rata tes harian mencapai 350 tes per 1 juta orang dari 14 juta kasus kumulatif. Amerika Serikat dengan tingkat positivity rate-nya 7,4 persen, tapi otoritas setempat melakukan banyak tes per hari hampir 10 ribu tes per 1 juta orang.

"Tingkat kepositifan yang diprediksi semakin tinggi, artinya negara itu tidak melakukan pengujian yang cukup dibandingkan skala wabah di negara mereka. Meskipun pandemi menyebar secara luas di Amerika Serikat, setidaknya mereka melakukan uji ke banyak orang untuk mengendalikan COVID-19," katanya.

Menurut Hilda, peningkatan frekuensi pengetesan dan pelacakan kontak yang diiringi dengan kebijakan pembatasan gerakan penduduk dapat berkontribusi positif pada penurunan angka kasus COVID-19.

Contohnya yang dilakukan di Selandia Baru. Pada awalnya negara tersebut hanya melakukan 200 tes per hari per 1 juta dengan tingkat kepositifan 1 persen.

Baca juga: Setahun Covid-19, Kemenkes optimalkan 'tracing' lewat peran puskesmas

Baca juga: 10.000 Babinsa disiapkan untuk "tracing" COVID-19


"Tapi saat mereka (Selandia Baru) meningkatkan frekuensi pengujian hingga 1.000 tes per 1 juta orang per hari, tentu saja ini dalam kombinasi kebijakan karantina wilayah yang mereka lakukan, sehingga tingkat kepositifan mereka turun menjadi 0,1 persen," katanya.

Sebaliknya, Indonesia dengan tingkat positivity rate 12,2 persen dan tingkat pengujian harian 160 tes per 1 juta, Indonesia belum melakukan pengujian yang cukup untuk bisa mengendalikan penyebaran COVID-19.

Situasi pandemi COVID-19 secara global, kata Hilda, terdapat 141 juta kasus. Jumlah itu diperkirakan meningkat dengan wabah yang terjadi di India.

"Di Indonesia, sejak Maret 2020 tercatat 1,6 juta kasus dan ini angka kumulatif dengan sekitar 5.336 kasus terkonfirmasi setiap harinya," katanya.

Hilda menyarankan pemerintah meningkatkan kapasitas tes dan pelacakan kontak pasien COVID-19 melalui peningkatan kemampuan sumber daya manusia (SDM) maupun infrastruktur laboratorium.

"Kita harus bisa melatih teknisi laboratorium sebanyak mungkin dan meningkatkan kapasitas laboratorium di seluruh Indonesia," katanya.

Baca juga: 1.427 relawan BNPB bantu "tracing" COVID-19 di Jakarta

Hilda menawarkan solusi bagi keterbatasan alat pendeteksi SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 selain metode PCR atau 'polymerase chain reaction'.

"Kalau tidak ada PCR, kita bisa gunakan teknologi terbaru menggunakan deteksi virus dari air liur atau metode Sampel Saliva. Ini bisa jadi solusi bagus untuk laboratorium di Indonesia yang mengalami keterbatasan investasi PCR yang mahal," ujarnya.

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021