Menghindarkan skenario Suriah di Myanmar

26 April 2021 16:18 WIB
Menghindarkan skenario Suriah di Myanmar
Seorang pria mengacungkan salam tiga jari sebagai simbol perlawanan sipil terhadap kudeta dan junta militer Myanmar ketika melewati ban terbakar sewaktu unjuk rasa menentang kudeta di Mandalay, Myanmar, 1 April 2021. (REUTERS/STRINGER)

Mungkin karena dihadapkan pada situasi ini, junta tak menolak lima proposal ASEAN yang sebenarnya sangat berat mereka luluskan di lapangan.

"Ini di luar perkiraan kami," kata Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin mengenai reaksi pemimpin militer Myanmar terhadap proposal ASEAN setelah pertemuan para pemimpin ASEAN di Jakarta pada Sabtu 24 April yang juga dihadiri Jenderal Senior Myanmar Min Aung Hlaing.

Aung Hlaing, menurut Muhyiddin dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, mau mendengarkan semua tuntutan ASEAN dan tak menolak lima usul ASEAN yang disepakati sebagai konsensus kawasan.

Kelima konsensus itu adalah (1) kekerasan harus segera dihentikan dan semua pihak mesti menahan diri, (2) dialog konstruktif di antara semua pihak terkait guna mencari solusi damai demi kepentingan rakyat, (3) Ketua ASEAN mengirimkan utusan guna memfasilitasi mediasi proses dialog dengan bantuan Sekretaris Jenderal ASEAN, (4) ASEAN memberikan bantuan kemanusiaan melalui AHA Centre (ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management), dan (5) utusan khusus dan delegasi mengunjungi Myanmar guna bertemu dengan semua pihak terkait.

Konsensus ini kemajuan besar karena sebelum ini ASEAN bersilang pendapat soal Myanmar, namun yang mengejutkan tetaplah sikap Aung Hlaing.

"Dia tak menentang ASEAN memainkan peran konstruktif atau kedatangan delegasi ASEAN atau bantuan kemanusiaan, dan bahwa mereka akan bekerja sama serta terlibat dengan ASEAN dalam cara konstruktif," kata Lee Hsien Loong.

Memang terlalu dini menyatakan junta Myanmar tengah melunak atau berusaha mengoreksi sikapnya. Bahkan Thitinan Pongsudhirak, profesor Hubungan Internasional dari Universitas Chulalongkorn di Bangkok, undangan ASEAN kepada Aung Hlaing adalah lompatan besar untuk junta karena “pengakuan” seperti ini akan menaikkan legitimasi junta di dalam negeri, sekalipun Indonesia menegaskan kehadiran Aung Hlaing di Jakarta adalah sebagai pemimpin militer, bukan sebagai kepala negara Myanmar.

Tapi di balik itu semua, sulit menyangkal junta sedang menghadapi kenyataan pahit harus bertarung di segala front, baik politik, ekonomi maupun militer.

Unjuk rasa dan pembangkangan sipil yang tak pernah surut dan kian merambah ke pelosok negeri, semakin memojokkan junta.

Pemogokan yang diserukan gerakan pembangkangan sipil itu telah melumpuhkan pemerintahan dan sistem perbankan serta menggerogoti output ekonomi nasional padahal sebelum kudeta negara ini adalah salah satu negara Asia Tenggara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat. Perdagangan internasional juga terhenti karena puluhan ribu pekerja logistik dan transportasi serta pegawai pemerintah menuruti seruan mogok.

Sejumlah investor asing mengumumkan rencana hengkang atau menghentikan sementara kegiatan usahanya di Myanmar. Yang lainnya, termasuk raksasa bir Kirin dari Jepang dan produsen baja Posco dari Korea Selatan, mengakhiri kemitraan dengan perusahaan-perusahaan militer Myanmar. Serikat-serikat kerja juga mendesak rantai pangan asing berhenti membeli dari Myanmar.

Mengutip Financial Times, keadaan ini melumpuhkan perekonomian Myanmar sampai-sampai Bank Dunia memprediksi produk domestik bruto negara ini amblas 10 persen tahun ini. Fitch Solutions malah menyebut angka 20 persen.

Arus modal ke luar pun kian kencang. Myanmar pun kini mendekati situasi Argentina, Zimbabwe, Bolivia dan Yugoslavia di masa lalu yang lumpuh total akibat hiperinflasi, kemiskinan massal dan ambruknya nilai tukar.


Baca juga: ASEAN capai konsensus untuk akhiri krisis Myanmar
Baca juga: Ketua DPD harapkan pertemuan pemimpin ASEAN selesaikan krisis Myanmar



Antipati semakin luas

Tindakan junta yang kian bengis tak mampu menghentikan pembangkangan sipil, sebaliknya memperlihatkan junta kian frustrasi tak kunjung menemukan formula meredakan konflik dan alih-alih antipati terhadap Tatmadaw semakin luas sehingga kesulitan memenangkan hati rakyat.

Di sisi lain, tindakan yang semakin keras bisa membuat China dan Thailand yang berbatasan langsung dengan Myanmar dan rezimnya diam-diam menyokong junta, menjadi jengah yang pada titik tertentu bisa membuat mereka turut ditekan dunia, khususnya PBB, Amerika Serikat dan Uni Eropa.

China bersikap abu-abu terhadap junta karena mempertaruhkan kepentingan ekonominya, termasuk proyek pelabuhan Kyaukpyu di Myanmar barat di tepi Samudera Hindia yang bisa mempersingkat lalu lintas gas dan minyak China, tidak lagi mengitari Selat Malaka dan Laut China Selatan yang empat kali lebih jauh.

China tengah membangun jalan kereta api sepanjang 1.215 km yang menghubungkan Kunming, ibukota Provinsi Yunnan di China selatan dan Kyaukpyu di Myanmar yang bertepi Samudera Hindia.

Rezim Thailand yang prolog kekuasaannya juga diawali kudeta dan menjadi role model junta Myanmar, juga diam-diam mendukung junta. Beberapa saat setelah kudeta 1 Februari, Aung Hlaing mengirimkan surat pribadi kepada PM Thailand Jenderal Purnawirawan Prayut Chan-o-cha yang naik berkuasa setelah didahului kudeta Mei 2014.

Tatmadaw memang terus mendapatkan dukungan Rusia yang menghadapi hambatan geografis untuk terus menyangga Tatmadaw tidak seperti dalam keterlibatan Rusia pada konflik Suriah, tetapi China dan Thailand lebih mempedulikan tekanan internasional.

China akan serba salah jika terus mendukung junta ketika tindakan-tindakan junta membuat PBB, Uni Eropa dan Amerika Serikat semakin keras menekan mereka.

Alhasil, perkembangan-perkembangan terakhir kian mempersulit posisi junta yang sudah terkepung secara ekonomi dan politik, sampai-sampai tak punya kesempatan mengonsolidasikan kekuasaan.

Hampir semua prakarsa politik Tatmadaw ditolak oleh bagian terbesar rakyat yang lebih mendukung apa yang disebut Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar (NUG), termasuk oleh sejumlah kelompok separatis terkuat seperti Kachin Independence Army (KIA) yang menolak mengakui junta.

Pun demikian dengan Karen National Union (KNU) yang merupakan kelompok pemberontak paling tua di negara itu yang menyatakan kudeta 1 Februari merusak Myanmar. Kelompok separatis bersenjata yang berbasis di negara bagian Kayin yang berbatasan dengan Thailand itu beraliansi dengan gerakan pembangkangan sipil dan menentang junta.

Sedangkan Restoration Council of Shan State (RCSS) yang seperti negara bagian Kachin berbatasan dengan China, menyebut Tatmadaw telah melanggar “semua norma demokrasi” dan tak bisa dipercaya.

Pertempuran pun berkecamuk, termasuk di negara bagian Kachin dan Shan sejak 11 Maret. KIA menyerang pos-pos militer dan polisi serta mengancam terus melancarkan serangan jika junta terus menembaki unjuk rasa damai di negara itu.

Awal April lalu sejumlah aparat keamanan di Shan tewas diserang gerombolan bersenjata Arakan Army, Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang dan Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar.

Situasi ini memicu anggapan bahwa Myanmar di ambang perang saudara yang menghancurkan seperti terjadi di Suriah karena sebagian besar kelompok bersenjata yang oleh pemerintah Myanmar disebut Organisasi-organisasi Etnis Bersenjata (EAOs) menentang kudeta dan junta.

Baca juga: Praktisi dorong ASEAN segera tunjuk utusan untuk mediasi di Myanmar
Baca juga: Warga Myanmar kecam konsensus ASEAN-junta, tak ada protes langsung
Baca juga: AICHR Indonesia sambut konsensus ASEAN terkait krisis Myanmar



ASEAN mesti agresif

Kekhawatiran terciptanya skenario Suriah di Myanmar bahkan diungkapkan Kepala Komisi Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet, yang menunjuk adanya kesamaan antara Myanmar saat ini dengan Suriah pada 2011 ketika gelombang protes damai dijawab oleh senjata untuk kemudian menjadi bibit kekerasan yang dilakukan banyak kelompok di mana-mana sehingga Suriah akhirnya hancur lebur oleh perang saudara bertahun-tahun.

Di antara EAOs itu ada yang langsung kembali mengokang senapan begitu Tatmadaw mengkudeta Aung San Suu Kyi, padahal mereka terikat gencatan senjata 31 Maret 2015 ketika Myanmar melangkah sepenuhnya ke transisi demokrasi.

Ini ditambah dengan gerakan pembangkangan sipil yang mulai mengadopsi kekerasan dengan menggunakan peralatan seadanya, selain beraliansi dengan kelompok-kelompok perlawanan etnis dalam EAOs yang menurut International Crisis Group menguasai sepertiga wilayah Myanmar yang kebanyakan merupakan daerah-daerah perbatasan.

Represi militer sebelum transisi demokrasi pasca kemenangan Suu Kyu beberapa tahun lalu pun kembali menghantui etnis-etnis minoritas, begitu militer melancarkan kudeta 1 Februari.

Itu termasuk United Wa State Army yang didukung China dan berkekuatan 25 ribu yang merupakan kekuatan militer non negara terbesar di dunia. Wa adalah wilayah otonomi di negara bagian Shan.

Akibatnya, junta tidak hanya menghadapi pembangkangan sipil di kota-kota besar, tetapi juga ancaman perlawanan bersenjata dari EAOs yang jika digabungkan memiliki sekitar 100.000 tentara. Sayap-sayap politik EAOs juga bisa bergerak lebih jauh dengan menuntut pemisahan diri.

Jika semua itu tak terkendali untuk kemudian menciptakan konflik skala luas, maka pengungsi bakal membanjiri negara-negara yang berbatasan dengan Myanmar seperti Bangladesh, India, China dan terutama Thailand yang memiliki perbatasan terpanjang dengan Myanmar. Jika sampai Thailand direpotkan, maka ASEAN juga akan repot.

Karena demikian banyaknya front yang harus dihadapi, dan kian tipisnya kepercayaan dari rakyat termasuk kaum muda yang menjadi garis depan pembangkangan sipil, energi junta terkuras sehingga tak punya waktu mengkonsolidasikan kekuasaan. Ini diperparah oleh tekanan internasional yang semakin kencang mengikuti semakin kerasnya tindakan junta terhadap gerakan sipil.

Mungkin karena dihadapkan pada situasi ini, junta tak menolak lima proposal ASEAN yang sebenarnya sangat berat mereka luluskan di lapangan.

Tetapi sepertinya junta mungkin melihat mekanisme ASEAN sebagai cara terhormat dalam menyelamatkan muka untuk mundur perlahan, ketimbang terlihat menyerah karena tekanan demonstrasi di dalam negeri atau sanksi Barat atau karena manuver terselubung China.

Pendulum yang mulai berubah ini bisa menjadi momentum bagi ASEAN dan Indonesia untuk terus menekan junta agar menghidupkan kembali tatanan demokrasi.

Tak seperti kekuatan lain yang didorong oleh memburu akses ekonomi, menciptakan kekuatan proksi atau menjadikan Myanmar sebagai vassal-nya sehingga tak segan menyudutkan junta, sikap ASEAN yang tak ingin menampar muka junta di depan rakyatnya sendiri bisa menjadi kelebihan organisasi kawasan ini.

Dengan wajah seperti itu ASEAN lebih berkesempatan meyakinkan junta bahwa organisasi kawasan ini adalah tetap kanal paling andal bagi Myanmar sehingga bisa mengefektifkan usul-usul ASEAN di Myanmar, terutama memulihkan tatanan demokrasi sebelum kudeta dan persatuan nasional di sana. Namun, ASEAN tetap mesti agresif menekan junta agar skenario Suriah tak terjadi di Myanmar, karena kalau sampai terjadi maka akibatnya bisa meluber ke seantero kawasan.

Baca juga: Anggota DPR sambut lima kesepakatan ASEAN Leaders' Meeting
Baca juga: Meutya Hafid: Pertemuan Pemimpin ASEAN solusi konkrit bagi Myanmar

Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2021