Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan kelestarian situs-situs warisan dunia di Indonesia menjadi harga mati, sejalan dengan tugas panjang pemerintah memastikannya dalam keadaan integritas dan otentisitasnya baik.
"Kita punya tugas panjang untuk memastikan warisan dunia betul-betul dalam keadaan baik, integritasnya, otentisitasnya, sehingga bisa diberikan pada generasi selanjutnya," kata Hilmar, dalam Webinar Pengelolaan Warisan Dunia di Indonesia yang diakses dari Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan ada tantangan dalam mengelola situs-situs warisan dunia, tekanan pembangunan sudah jelas menjadi salah satunya. Lalu tantangan lainnya yang harus dihadapi adalah tekanan lingkungan, kebencanaan dan kesiapsiagaan, menciptakan pariwisata yang bertanggung jawab, penduduk sekitar yang tumbuh, pengelolaan situs, serta kelembagaannya.
"Di Borobudur dan situs lainnya juga menghadapi persoalan tekanan pembangunan, infrastruktur maupun pertambahan penduduk. Khusus Borobudur, beberapa kali juga menghadapai erupsi Gunung Merapi dan banjir. Jadi perlu mitigasi agar ancaman tersebut bisa ditangani," kata Hilmar.
Tujuan paling penting dari adanya warisan dunia adalah kemampuan untuk meneruskannya ke generasi masa depan. Jadi kelestarian menjadi harga mati, dan fokus pemerintah pada alam pelestariannya, ujar dia.
Menurut Hilmar, strategi untuk mencapai tujuan tersebut perlu disampaikan secara baik dan solid. Perencanaan pengelolaan situs warisan dunia yang lebih terperinci serta strateginya tentu harus diturunkan ke tingkat yang lebih aplikatif, mulai dari pemerintah pusat, tentu saja pada kementerian/lembaga yang terlibat, lalu ke pemerintah daerah.
Semua, lanjutnya, bermuara pada tindakan yang disertai pemantauan. Sudah ada komite warisan dunia yang melakukan pengawasan kondisi pelestarian situs-situs warisan dunia di negara pihak.
Mereka melakukan periodic reporting setiap enam tahun, state of conservation setiap dua tahun jika ada masalah yang perlu ditangani, lalu advisory mission yang dilaksanakan jika negara pihak meminta saran atau masukan atas suatu masalah, serta melakukan reactive monitoring yang dilakukan jika ada masalah yang sangat mendesak dan mengancam kelestarian situs.
"Di 2003 dan 2006, Borobudur sempat masuk dalam reactive monitoring tersebut dengan menghasilkan beberapa rekomendasi yang juga jadi bahan pertimbangan kita ketika merencanakan pengelolaan ke depan," ujar Hilmar.
Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO Arief Rachman mengatakan sudah ada penelitian tentang faktor-faktor yang bisa menjadi kecenderungan ancaman utama situs warisan dunia di kawasan Asia Pasifik.
Beberapa terkait sistem manajemen, pembangunan hotel, program turisme, infrastruktur transportasi darat, aktivitas legal, legal framework yang harus dilakukan, sumber daya manusia yang mengelola, tambang, akomodasi yang tidak sesuai, perubahan penduduk dan komunitas yang kurang paham sehingga perlu pendidikan, keadaan air di sana, perusakan secara sengaja, pengembangan komersial juga masuk.
Karenanya harus ada kebijakan strategis pelestarian untuk situs-situs tersebut. Terdapat sembilan warisan dunia alam dan kultur di Indonesia, mulai dari Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Lorentz, Hutan Hujan Sumatera, Candi Borobudur, Candi Prambanan, Situs Manusia Purba Sangiran, dan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto.
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021