Senior Information Information Mirae Asset Sekuritas Martha Christina memprediksi IHSG akan memiliki rentang pergerakan 5.883-6.115.
"Nilai transaksi saham yang diprediksi turun itu terutama karena libur Lebaran atau Idul Fitri serta masih menunggunya pelaku pasar alias wait & see terhadap publikasi laporan keuangan emiten di bursa," ujar Martha saat diskusi dengan awak media di Jakarta, Kamis.
Sebagai gambaran, rerata nilai transaksi April berada pada Rp9,42 triliun dan sudah turun menjadi Rp9,14 triliun sejak awal bulan ini. Angka itu turun dari rata-rata Januari-Maret Rp15,69 triliun per hari.
Baca juga: IHSG diprediksi naik didorong berlanjutnya aksi beli asing
Dia mengatakan, faktor makroekonomi yang dapat positif itu terutama kondisi domestik. Data historis dari angka pertumbuhan ekonomi, data manufaktur dari manufacturing PMI yang menunjukkan perbaikan, masih menjadi penunjang prospek ekonomi.
Menurut dia, faktor makroekonomi yang membaik itu menjadi satu dari tiga katalis pendorong pergerakan IHSG sepanjang Mei. Dua katalis positif lainnya adalah potensi kenaikan harga komoditas dan sudah berjalannya vaksinasi COVID-19 di dalam negeri.
Di sisi lain, lanjut Martha, faktor kasus baru COVID-19 domestik setelah libur panjang Lebaran berpotensi menjadi katalis negatif. Namun, jika angka kasus COVID-19 masih stabil dan tidak mengalami kenaikan berarti karena pembatasan mudik yang berhasil oleh pemerintah, maka faktor itu dapat beralih menjadi faktor positif bagi pergerakan pasar saham.
Untuk sektor pilihan bulan ini, Tim Investment Information Mirae Asset Sekuritas memilih sektor barang konsumsi primer (JPFA, MAIN), properti (BSDE, CTRA, PWON), bahan baku (ANTM, TINS), dan beberapa pilihan lain (AKRA, BBTN, SRTG, dan MPMX).
Baca juga: IHSG ditutup menguat, terkerek ekspansifnya data manufaktur domestik
Fixed Income Analyst Mirae Asset Sekuritas Dhian Karyantono juga memprediksi faktor makroekonomi yang positif tadi dapat mengangkat harga obligasi pemerintah (surat berharga negara/SBN) sekaligus menurunkan tingkat imbal hasilnya (yield) di pasar.
Dia memprediksi hingga Juni, harga SBN tenor acuan 10 tahun dapat naik dan menurunkan yield-nya hingga di bawah 6 persen pada kuartal III 2021. Saat ini, lanjutnya, harga SBN acuan 10 tahun sudah turun sejak awal tahun dan membuat yield-nya naik hingga di kisaran 6,5 persen.
Pergerakan harga dan yield obligasi di pasar sekunder saling bertolak belakang, dan yield juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
Dhian juga memprediksi kondisi makroekonomi global khususnya yang dipicu kekhawatiran inflasi di AS sempat memicu kenaikan yield obligasi pemerintah AS (US Treasury), menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, dan menaikkan indikator risiko Indonesia (CDS).
"Namun, Bank Indonesia masih memiliki ruang untuk melonggarkan kebijakan moneter mengingat dua hal utama yaitu inflasi domestik yang masih rendah serta terkendalinya defisit neraca berjalan (CAD)," ujar Dhian.
Sebelumnya, harga US Treasury tenor acuan 10 tahun turun dan sempat membuat yield-nya naik hingga menembus 1,76 persen pada akhir Maret dan saat ini sudah mereda dan berada pada kisaran 1,6 persen.
Dhian mengatakan saat ini harga SBN acuan 10 tahun sudah turun sejak awal tahun dan membuat yield-nya naik sekitar 63 basis poin (bps) sejak awal tahun hingga sekarang di kisaran 6,5 persen.
Meski yield SBN naik, penerbitan obligasi korporasi di dalam negeri relatif meningkat sejak awal tahun. Kenaikan yield SBN tersebut masih lebih kecil daripada rerata kenaikan yield obligasi pemerintah kategori layak investasi (investment grade) dunia yang naik sebesar 82 bps dan kategori non-investment grade yang rata-rata kenaikannya mencapai 352 bps. Hitungan 100 basis poin (bps) setara dengan 1 persen.
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021