"Hak paten vaksin merupakan kesepakatan bersama World Trade Organization (WTO) sebagai satu-satunya organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional," katanya saat dihubungi ANTARA melalui sambungan telepon, Senin sore.
Kesepakatan itu salah satunya mengatur untuk obat-obatan, termasuk hak paten produk bagi pihak yang berhasil menemukan, sehingga yang bersangkutan bisa menguasai pemasaran produk. "Jadi dia boleh selama sekian tahun menguasai hak patennya tersebut," katanya.
Kondisi seperti itu, kata Siti Nadia, tidak akan mempercepat proses vaksinasi bagi penduduk dunia di tengah ancaman pandemi COVID-19.
Baca juga: Kemenkes susun rencana imunisasi 14 jenis vaksin secara nasional
"Justru untuk transfer teknologi dan sebagainya menjadi terhalang dengan adanya hak paten itu. Selain itu, tidak bisa produk lain mendistribusikan produk yang sama dikarenakan masih ada pemegang lisensi tunggal," katanya.
Dengan adanya kesepakatan bersama menghapus hak paten vaksin COVID-19, kata Siti Nadia, akan lebih mempermudah proses akses, harga, hingga perluasan vaksin di dunia.
"Kami pada prinsipnya membuka akses dan mempermudah agar tidak dikendalikan oleh si penemunya, sebab ini persoalan pandemi. Jangan penemunya yang tentukan. Kalau perlu bisa diproduksi oleh negara maupun orang lain," katanya.
Siti Nadia menambahkan, sikap menghapus hak paten sebenarnya pernah ditunjukkan pemerintah Indonesia pada obat 'antiretroviral' (ARV) bagi pasien HIV tahun 2004.
Sikap tersebut ditunjukkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 83 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah Terhadap Obat-Obat Anti Retroviral yang ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Siti Nadia mengatakan keputusan tersebut diberlakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang sangat mendesak dalam upaya menanggulangi epidemi HIV/AIDS.
Baca juga: Kemenkes: Waspadai tiga varian baru virus yang lebih cepat menular
Aturan itu juga mengatur tentang peran Menteri Kesehatan dapat menunjuk pabrik obat sebagai pelaksana paten untuk dan atas nama pemerintah melaksanakan paten tersebut dengan mempertimbangkan rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Selain itu, pemerintah juga memberikan imbalan kepada pemegang paten sebesar 0,5 persen dari nilai jual netto obat-obat antiretroviral.
Penggunaan ARV di Indonesia pada 1990 awalnya masih bersifat monoterapi atau duo terapi. Penggunaan terapi tiga kombinasi obat ARV baru dapat dilaksanakan pada November 1999, ketika Kelompok Studi Khusus (Pokdisus) AIDS Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mulai melaksanakan Program Akses Diagnosis dan Terapi.
Melalui program ini, Pokdisus melakukan negosiasi kepada perusahaan farmasi paten obat dan reagen laboratorium. Upaya tersebut berhasil menurunkan harga obat hingga 30 persen dari harga pada umumnya.
Pada 2000, India berhasil memproduksi obat ARV generik, segera setelah itu pemerintah Afrika Selatan dan Thailand membeli untuk masyarakat mereka.
Juni 2001, perwakilan dari Pokdisus mengunjungi India berupaya untuk mengakses obat ARV generik dan berhasil mendapatkan komitmen dari salah satu perusahaan produsen obat ARV generik di India hingga paket obat ARV generik pertama dari India sampai di Indonesia pada 2001.
Upaya yang dilakukan Pokdisus mendapat respons positif dari masyarakat, setelah itu penggunaan obat ARV jumlahnya terus bertambah besar.
Baca juga: Kemenkes: Insentif tenaga kesehatan RSDC Wisma Atlet dalam proses
Baca juga: Kemenkes: 10 provinsi alami peningkatan kasus dalam 4 pekan terakhir
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2021