"Sasarannya penduduk yang bergejala dan pernah melakukan kontak erat. Hal ini penting untuk menekan laju penyebaran dengan melakukan isolasi atau perawatan sebanyak-banyaknya bagi yang dikonfirmasi positif COVID-19," kata dia di Banjarmasin, Kalsel, Sabtu.
Diungkapkan Taqin, larangan mudik tahun ini faktanya tidak mengurangi mobilitas penduduk selama puasa atau jelang lebaran.
Baca juga: Bertambah 194 orang, positif COVID-19 di Kepri naik 13.198 kasus
Berdasarkan data dari Apple Maps dan Google, ungkap dia, kebijakan pemerintah tersebut belum dapat menekan mobilitas penduduk lebih baik dari situasi di tahun 2020.
Taqin menyebut indeks tren mobilitas Apple Maps mobilitas penduduk dengan menggunakan kendaraan roda dua dan empat sebelum lebaran tahun 2021 jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2020. Perbedaannya mencapai 40 hingga 60 persen.
Sementara dengan menggunakan data mobilitas penduduk di pusat transportasi umum dari google, mobilitas penduduk pada Ramadhan 2021 lebih tinggi 20 hingga 50 persen dibandingkan tahun 2020.
Baca juga: Kasus signifikan, Satgas Minahasa Tenggara-Sulut perketat prokes
"Saat pelarangan mudik dari 6 Mei 2021 mobilitas penduduk menggunakan kendaraan dan angkutan umum memang menurun drastis. Tetapi masyarakat sudah mengantisipasi dengan mudik lebih awal, khususnya sejak dilakukannya pembatasan perjalanan dari 22 April," bebernya.
Alhasil, data Google dan Apple Maps menunjukkan peningkatan signifikan perjalanan menggunakan kendaraan dan angkutan umum hingga sebelum 6 Mei. Begitu pula mobilitas penduduk di udara mengalami peningkatan yang sangat tajam.
Menurut Taqin, larangan mudik hanya menyebabkan menurunnya mobilitas penduduk antar pulau dan antar daerah. Sebaliknya masyarakat memberikan respon atas larangan mudik tersebut dengan meningkatnya mobilitas lokal.
Baca juga: Bertambah 45 orang, positif COVID-19 di NTT jadi 16.271 kasus
Berdasarkan data Google, hal ini ditunjukkan semakin menurunnya durasi mobilitas di area pemukiman. Artinya pergerakan masyarakat di luar rumah semakin tinggi.
Sebagai contoh mobilitas penduduk ke pasar tradisional, super market, toko bahan makanan dan apotik untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga melonjak tinggi melebihi baseline atau situasi normal sebelum pandemi.
"Berdasarkan alasan ini, dapat dikatakan pemerintah belum berhasil mengendalikan mobilitas penduduk sebelum lebaran, sehingga menyebabkan potensi penularan COVID-19 yang lebih tinggi," paparnya.
Apalagi jumlah kasus baru di bulan Ramadhan 2021 naik 11 kali lipat dibandingkan Ramadhan 2020. Jadi potensi ledakan kasus COVID-19 di Indonesia pascalebaran juga besar.
Namun begitu, Taqin melihat potensi ledakan kasus tersebut sangat bergantung pada jumlah dan sasaran testing. Jika tingkat testing PCR masih rendah sebagaimana yang terjadi pada bulan Maret hingga Mei ini, maka jumlah kasus konfirmasi positif COVID-19 hanya berada di sekitar angka 5.000 kasus per hari.
Tetapi jika dilakukan testing lebih masif, maka potensinya akan menjaring lebih banyak orang yang terinfeksi COVID-19.
Tidak menaikkan testing hanya menyebabkan tidak terjadinya lonjakan kasus di atas kertas saja. Kondisi ini menggambarkan keadaan dan penurunan semu yang kemudian akan menjadi bom waktu dengan ledakan yang lebih masif disebabkan banyaknya kasus penularan yang tidak tertangani dan tidak diisolasi.
"Jika itu terjadi, daya tampung rumah sakit rujukan COVID-19 akan jebol sehingga kasus kematian juga melambung tinggi," katanya.
Pewarta: Firman
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2021