"Bahwa nomenklatur BNPB tidak tercantum dalam RUU PB bukan berarti akan melemahkan kedudukan lembaga yang dimaksud dalam menangani bencana," ujar Risma dalam rapat kerja bersama Komisi VIII DPR RI di Jakarta, Senin.
Rapat tersebut membahas sejumlah daftar inventarisasi masalah (DIM) dari rapat-rapat pembahasan antara Panja Pemerintah dan Panja Komisi VIII DPR RI terkait masalah kelembagaan dan anggaran penanggulangan bencana.
Panja Komisi VII DPR RI mengusulkan agar nomenklatur lembaga BNPB tercantum dalam RUU PB, serta alokasi anggaran penanggulangan bencana dapat disiapkan dalam bentuk dana siap pakai sebesar minimal dua persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily mengatakan dari sejumlah rapat yang diikutinya, belum ada titik temu mengenai dua masalah tersebut.
Risma mengatakan hasil keputusan tersebut berdasarkan rapat tingkat menteri/lembaga di Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan ( Kemenko PMK). Adapun dalam hasil tersebut, penyebutan nomenklatur lembaga penanggulangan bencana tidak perlu disebutkan.
Pengaturan terkait pengangkatan kepala lembaga, penjabaran fungsi koordinasi, komando dan pelaksana tugas, serta tugas dan tata cara lembaga diatur dalam peraturan presiden (perpres) sehingga lembaga tersebut secara langsung tetap di bawah komando dan tanggung jawab presiden.
Sementara nomenklatur, tugas dan fungsi lembaga tidak dicantumkan dalam RUU PB, namun tugasnya didelegasikan dalam perpres yang dimaksudkan untuk fleksibilitas pengaturan yang memudahkan perubahan atau adaptasi sesuai kondisi dan perkembangan kebutuhan tata kelola pemerintahan mendatang.
"Tidak menyebutkan nomenklatur lembaga penanggulangan bencana di daerah, namun menggunakan nomenklatur perangkat daerah. Karena penentuan organisasi perangkat daerah merupakan kewenangan pemerintah daerah dan kedudukannya bertanggung jawab kepada daerah," ujar Risma
Selain itu pada usulan DPR tentang alokasi anggaran penanggulangan bencana berupa dana siap pakai setidaknya dua persen dari APBN, hal tersebut dinilai tidak perlu oleh Risma sebagai Ketua Panja Pemerintah untuk RUU PB.
Menurut Risma, hal itu cukup diatur dalam pengalokasian anggaran negata penanggulangan bencana secara memadai. "Hal ini dimaksudkan untuk menghindari mandatory spending yang akan terlalu membebani anggaran dan memberatkan fiskal," ujar Risma.
Risma menjelaskan pencantuman norma terkait alokasi pendanaan dengan besaran berupa persentase tertentu atas APBN, dinilai mempersempit ruang fiskal pemerintah, mengingat sudah terdapat kewajiban alokasi APBN antara lain untuk fungsi pendidikan 20 persen, fungsi kesehatan lima persen, transfer ke daerah 26 persen, Dana Desa 10 persen, belanja subsidi, dan belanja pegawai.
Sedangkan alokasi untuk penanggulangan bencana, kata Risma, pada prinsipnya selalu menjadi bagian dari prioritas pemerintah yang terbagi yakni dana mitigasi yang tersebar di Kementerian lembaga terkait,dana siap pakai yang dicadangkan melalui bagian anggaran BUN dan bagian anggaran BNPB, serta dana rehabilitasi dan rekonstruksi.
Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021