Menurut dia, kalau tidak mampu membayarnya akan menimbulkan masalah yang lebih besar nantinya.
"Izinkan saya untuk berbagi pengalaman tentang perilaku peminjaman online dan membentengi diri dalam menyikapi agar tidak berutang," ujar Lilik Noor Yuliati dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.
Sebagai langkah awal untuk menghindari utang, ia menyarankan agar seseorang membuat catatan keuangan setiap bulannya.
Kemudian, membuat rencana penggunaan uang dalam sebuah keluarga pada periode tertentu setiap bulan. Lalu, menyisihkan 10-15 persen pendapatan untuk tabungan.
Selanjutnya, menyimpan dana untuk kebutuhan darurat sebagai bentuk antisipasi bila terjadinya sebuah risiko yang tidak diharapkan.
Baca juga: Wali Kota Malang ingatkan warga untuk hati-hati ajukan pinjaman online
Baca juga: Satpam OJK yang bunuh diri diduga terlilit hutang
Selanjutnya, membuat perencanaan keuangan sesuai tujuan finansial yang ingin dicapai dan menghentikan kebiasaan belanja berlebihan.
"Kemudian membuat prioritas belanja untuk memenuhi kebutuhan dan bukan karena keinginan. Tetap menjadi diri sendiri, jangan ikut-ikutan orang lain. Dan tips terakhir adalah menambah pendapatan keluarga," katanya dalam webinar yang bertema "Konsumen Cerdas dan Bijak di Era Digital".
Saat ini, menurut Lilik, sindrom hutang sudah mendarah daging ke banyak keluarga. Utang bukan lagi untuk kebutuhan, tapi sudah menjadi kebiasaan. Bahkan, banyak yang "gali lubang dan tutup lubang".
"Padahal utang memberikan dampak, seperti dampak psikologis dari ketidakmampuan membayar dan proses penagihan yang dilakukan secara intimidatif sehingga mengakibatkan trauma, stres, depresi, gelisah, tidak fokus bekerja, kehilangan kepercayaan diri, hingga bunuh diri," ungkapnya.
Selain itu, utang juga berdampak terhadap alokasi rumah tangga untuk kebutuhan pokok, kesehatan, dan pendidikan. Karena utang belum terbayarkan, akhirnya pengutang memutuskan untuk mengambil utang baru lewat penyedia jasa lain, baik legal maupun ilegal untuk membayar hutang sebelumnya dan menjual atau menggadaikan aset.
"Dampak sosial dari utang, konsumen mengalami cyber bullying, diintimidasi, menyebar data dan foto informan kepada orang dalam daftar kontak informan disertai kata-kata yang mendiskreditkan. Kemudian penagihan dilakukan kepada keluarga, teman rekan kerja, dan kerabat terdekat sehingga mengganggu hubungan keluarga dan hubungan sosial," paparnya.
Baca juga: Sandiaga Uno janji stop utang
Baca juga: BEI imbau masyarakat tak pakai dana dari utang untuk beli saham
Lilik menilai, ada tiga faktor yang membuat seseorang berutang, yaitu pendapatan tidak cukup sementara kebutuhan mendesak, memenuhi tuntutan gaya hidup (perilaku konsumtif), serta pengaruh teman dan iklan di media.
Kalau pun harus melakukan peminjaman online, Lilik menyarankan agar seseorang memiliki alasan jelas sebelum berutang.
"Apakah mampu membayarnya atau tidak. Jika sudah yakin, buatlah perencanaan," katanya.
Saat akan berutang, lanjut dia, seseorang harus memeriksa dan mengecek perusahaan fintech yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Kemudian, baca syarat dan ketentuan serta memahami risiko. Dan menggunakan satu aplikasi pinjaman online," tutur Lilik.
Ia mengingatkan setelah mendapatkan uang dari hasil utang, seseorang harus ingat tanggal pembayaran cicilan dan segera membayarnya.
"Jangan ditunda-tunda. Bila diancam atau diteror segera lapor ke polisi dan adukan ke situs resmi OJK," ucapnya.
Adapun situs resmi OJK yang dimaksud Lilik adalah https://konsumen.ojk.go.id/FormPengaduan.
Situs ini dibuat oleh OJK untuk pengaduan berbasis online yang di dalamnya terdapat identitas pelapor, hal yang diadukan dan dokumen pengaduan.
Baca juga: Ingin berutang? Pertimbangkan faktor-faktor ini
Baca juga: Guru TK diteror penagih utang, Ketua DPD desak OJK tutup pinjol ilegal
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021