BNPT: Kaum milenial jadi sasaran radikalisasi

22 Mei 2021 20:17 WIB
BNPT: Kaum milenial jadi sasaran radikalisasi
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid. ANTARA/Dok BNPT.
Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid mengatakan, kaum milenial menjadi sasaran utama radikalisasi karena mereka sangat sensitif terhadap nilai keagamaan.

"Kaum milenial menjadi sasaran utama radikalisasi karena generasi muda itu punya masa depan yang panjang," kata Brigjen Pol Nurwakhid.

Penegasan Direktur Pencegahan BNPT secara virtual itu disampaikan pada acara webinar nasional "Membangun Spirit Pemuda Maluku di Tengah Fenomena Radikalisme" yang diselenggarakan AMGPM Daerah Kota Ambon Cabang Imanuel Karpan di Ambon, Sabtu, yang dibuka Ketua Majelis Jemaat Pendeta Jonathan Siwalete, Sth.

Menurut dia, kaum milenial diklasifikasi menjadi tiga yaitu umur 14-19 tahun, 20-40 tahun dan 40 tahun sampai 55 tahun.

"Khusus untuk generasi milenial 20-40 tahun ini adalah generasi yang luar biasa dan potensial menjadi sasaran radikalisasi sebab mereka sangat sensitif nilai keagamaannya, kemudian masih dalam fase pertumbuhan yang emosional sehingga terkadang dia labil.

Baca juga: FKPT Sulteng sebut aparat keamanan harus kerja keras tuntaskan teror
Baca juga: BNPT: Tasawuf agama (jhsan) sebagai vaksin radikal terorisme
Baca juga: Civil society diharapkan mampu jaga harmonisasi berbangsa bernegara


Wawasan pengetahuan dan penghayatan mereka terhadap nilai-nilai hidup masih dalam fase pertumbuhan menuju pematangan, sehingga mereka rentan untuk digiring dalam konteks memperjuangkan sistem pemerintahan yang berdasarkan agama atau khilafah atau Daulah Islamiyah.

Radikalisme dan terorisme menjadi musuh negara karena ideologi yang dibawa bertentangan dengan perjanjian yang sudah menjadi konsensus bersama bangsa Indonesia yakni Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, serta NKRI.

Kalau terus dibiarkan maka akan berkembang ke arah konflik sosial dan konflik bangsa, karena semua negeri-negeri konflik, terutama di dunia Islam, selalu didahului oleh fenomena maraknya radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan agama terutama Islam di Timur Tengah dan beberapa negara Asia Tengah, atau di Afrika.

"Wilayah ini selalu didahului maraknya terorisme dan radikalisme mengatas-namakan agama dalam konteks Islam," ucap Nurwakhid.

Kemudian berkolaborasi dengan oposisi yang destruktif atau pun mengundang intervensi asing, sehingga terjadilah konflik seperti di Afganistan, Somalia, Libya, Sudan, Irak, atau Yaman.

Hal ini perlu diwaspadai. "Pengalaman konflik di Ambon misalnya merupakan bagian dari desain besar yang ingin menghancurkan NKRI dan mengadu-domba masyarakat dengan mengatasnamakan agama," tegasnya.

Untuk itu, Pancasila yang merupakan ideologi pemersatu bangsa, serta gotong royong, yang digali dari kearifan lokal budaya dan nilai-nilai agama harus terus dipupuk dan dikuatkan.

Ia menambahkan Densus 88 atau pun BNPT meyakini tidak ada konflik agama, tetapi yang ada adalah konflik kepentingan yang memanipulasi dan mengatasnamakan agama.

Webinar nasional sehari yang dimoderatori Dr Sherly Adam itu juga menampilkan pembicara lainnya seperti mantan komandan NII Ken Setiawan, Pangdam XVI Pattimura, Kapolda Maluku, mantan Kepala Pusat Kajian Strategi TNI-AD Brigjen TNI (Purn) Junias M Tobing.

Dalam webinar nasional secara virtual ini, mantan komandan NII Ken Setiawan menjelaskan kalau radikalisme dan terorisme ini bisa menyasar semua lini masyarakat dan berkembang, merajalela b‎ila dibiarkan, dianggap benar bila tidak ditindak aparat keamanan, dan menjadi bom waktu.

Menurut dia, ketertarikan terhadap ideologi tersebut karena kondisi di masyarakat, Pancasila dianggap tidak menarik, belajar dengan guru yang salah, dan adanya provokasi media sosial.

"Diimbau kepada masyarakat pelajari agama pada ahlinya, kenali modusnya, tolak seperti narkoba, kritis terhadap fenomena di sekitar kita," katanya.
 

Pewarta: Daniel Leonard
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021