Pandemi, plastik dan pendidikan kita

24 Mei 2021 15:15 WIB
Pandemi, plastik dan pendidikan kita
Ilustrasi - Nelayan beraktivitas di dekat tumpukan sampah plastik yang mencemari muara sungai di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (2/4/2020). ANTARAFOTO/Basri Marzuki/hp.
Sudah beberapa kali melihat teman yang berbelanja daring (online), dan ketika datang barang yang dipesannya, selalu saja dibungkus dalam plastik.

Kemasan tersebut biasanya diikat dengan lakban, dibungkus plastik, kemudian dibungkus kertas atau berada dalam kardus, di dalam kardus kadang barang tersebut masih dibungkus lagi oleh plastik berudara atau styrofoam. Biasanya setelah dibuka, plastik dan kertas pembungkusnya langsung dibuang ke tempat sampah.

Berbelanja daring tentunya bukan masalah, apalagi dalam masa pandemik sekarang ini, tetapi setiap barang yang dipesan, datang dibungkus dengan bungkusan plastik, tentunya akan mempengaruhi jumlah sampah plastik di lingkungan kita.

Sampah plastik ini akan semakin bertambah karena perilaku kita yang sudah terbiasa meminum dan memakan dari minuman dan makanan yang biasanya dikemas dalam plastik juga, hal ini mungkin tidak/ kurang kita sadari bersama.

Berbeda dengan kalau kita berbelanja langsung di pasar, toko atau pusat perbelanjaan, yang pada hari-hari tertentu dalam sepekan tidak menggunakan bungkus plastik tapi menggunakan pembungkus kertas, atau kita akan mendapatkan poin belanja apabila kita menggunakan ecobag (tas ramah lingkungan) sendiri.

Kalaupun memakai tas plastik, biasanya tas plastik tersebut degradable atau biodegradable, artinya plastik tersebut akan hancur sendiri, menjadi partikel-pertikel kecil dalam rentang waktu tertentu. Atau tas plastik tersebut masih bisa disimpan yang akan digunakan lagi untuk keperluan lain.

Selain kemudahan berbelanja online yang bisa diorder lewat telepon genggam kita, sambil tiduran ataupun sambil santai di rumah.

Pandemi COVID-19 juga telah mengubah kebiasaan kita berbelanja di pasar, toko ataupun di pusat perbelanjaan.

Banyak orang sekarang agak malas berbelanja ke pasar, toko atau pusat perbelanjaan dikarenakan adanya prosedur kesehatan yang harus dilakukan secara ketat seperti; pengecekan masker dan pelindung muka (face shield), pengukuran suhu tubuh, scan Q and R untuk tracing, ditambah lagi aturan ketat pembatasan jumlah pengunjung pusat perbelanjaan.

Semuanya itu mendorong orang untuk melakukan transaksi jual beli melalui daring, dan sayangnya lagi bahwa barang yang dipesan dikirim dalam kemasan plastik yang bukan degradable atau biodegradable.

Baca juga: Investor Finlandia bakal bangun pabrik bata plastik di NTB

Sekali pakai

Tentunya situasi seperti ini harus direspon dengan cepat dan tepat, kalau tidak, maka sangat mungkin kita akan dibanjiri oleh plastik-plastik yang sangat berbahaya bagi diri dan lingkungan kita.

Plastik yang pertama kali ditemukan oleh Alexander Parkes pada tahun 1862, berbahan selulosa yang kemudian diberi nama sesuai namanya Parkesine. Kemudian pembuatan plastik berkembang terus dengan menggunakan bahan sintetis dan seterusnya hingga sekarang. Secara kimia, plastik adalah jenis makromolekul yang terbentuk melalui proses polimerisasi.

Polimerisasi itu sendiri adalah proses penggabungan beberapa molekul sederhana (monomer) melalui proses kimia menjadi molekul besar yang disebut polimer atau makromolekul. (forestact.com. 29 Juni 2019).

Dengan dipanasi dan diberi tekanan, maka polimer atau makro molekul ini sangat mudah dibentuk sesuai dengan keinginan kita. Ada beberapa jenis plastik yang ada di sekitar kita antara lain:

Pertama adalah PET (polyethylene terephthalate). Plastik ini hanya boleh digunakan untuk sekali pemakaiannya, seperti botol air minum kemasan.

Kedua, jenis HDPE (High-Density Polyethylene), plastik ini relatif lebih aman karena dapat mencegah reaksi kimia. Plastik ini banyak digunakan untuk botol susu bayi, botol obat dan sebagainya.

Ketiga, plastik jenis PVC (Polyvinyl Chloride) dibuat untuk pipa bangunan, selang air dan sebagainya.

Keempat, plastik jenis LDPE (Low-Density Polyethylene), biasanya plastik ini tipis biasa digunakan sebagai tas kresek, plastik pembungkus dan lain-lain.

Kelima, plastik jenis PP (Polypropylene atau Polypropene) karena agak keras, biasanya digunakan untuk tutup botol, mainan anak dan lain-lain.

Keenam, plastik jenis Other (O) ini bisa terdiri dari Polystyrene (PS) atau Polycarbonate (PC) atau lainnya.. PS merupakan Styrofoam yang sering kita lihat dan gunakan.

Baca juga: Indonesia jajal teknologi iradiasi untuk kurangi sampah plastik

Kotori lautan

Plastik ini sangat akrab dalam kehidupan kita sehari-hari, dari mulai dapur, kamar mandi, ruang tamu, kamar tidur, ruang tamu hingga ke garasi mobil dipastikan ada unsur plastiknya. Karena sangat akrab dalam kehidupan sehari-hari, maka tentunya akan agak sulit untuk menghilangkannya secara tiba-tiba dari kehidupan kita, dan sudah seharusnya kita juga tahu bagaimana menggunakan plastik secara bijaksana dan bahaya yang ditimbulkannya.

Dibalik manfaatnya, plastik menyimpan bahan-bahan kimia yang sangat berbahaya bagi tubuh kita dan lingkungan. Hampir bisa disimpulkan bahwa semua jenis plastik tersebut di atas mempunyai efek yang sangat berbahaya bagi tubuh.

Apabila dibakar, plastik akan melepaskan karbon monoksida (CO) dan Hidrogen Sianida (HCN) yang sangat berbahaya apabila sampai terhirup oleh kita, dan pastinya akan mencemari udara.

Selain itu, plastik adalah benda yang tidak bisa diurai oleh mikroorganisme, sehingga dia akan berumur lebih dari ratusan tahun di tanah.

Tanah yang ditutupi plastik akan kekurangan oksigen dan cahaya matahari, sehingga akan menurunkan populasi binatang-binatang yang di dalam tanah, dan tentunya membuat tanah tidak akan subur dalam waktu yang agak lama.

Belum lagi kalau plastiknya masuk ke dalam lautan, maka ini juga akan mengotori lautan, selain itu akan menurunkan populasi fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton (plankton tumbuhan) adalah produsen dalam rantai makanan biota laut.

Sementara zooplankton merupakan konsumen pertama fitoplankton yang menjadi perantara/ penghubung produsen dengan hewan-hewan yang lebih tinggi tingkatannya. Sebanyak 30,7 persen keberadaan zooplankton dipengaruhi oleh keberadaan fitoplankton (Indriyawati, Jurnal Kelautan, Vol.5, No.2).

Celakanya adalah bahwa Indonesia berada pada urutan kedua yang mengalami pencemaran sampah plastik ke laut setelah Cina. Dengan jumlah masyarakat pesisir sekitar 187,2 juta orang, setiap tahunnya menghasilkan 3,22 juta ton sampah plastik dan sekitar 0,48-1,29 juta ton sampah plastik tersebut mencemari lingkungan.

Ada beberapa kota di Indonesia yang sudah melakukan diet plastik, yaitu program mengurangi ketergantungan pada plastik dalam kehidupan sehari-hari. Kota-kota yang sudah melaksanakan diet plastik itu antara lain; Banjarmasin, Balikpapan, Bogor, dan Denpasar.

Lembaga pendidikan, seperti sekolah seharusnya bisa berperan lebih aktif lagi dalam mengedukasi dan mensosialisasikan penggunaan plastik secara lebih bijaksana, serta bahayanya plastik bagi diri dan lingkungan.

Baca juga: Sampah plastik dari mainan gundam didaur ulang di Jepang

Diet plastik

Sebagai sebuah lembaga yang mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, nilai-nilai yang bermanfaat, serta nasionalisme tentunya berharap kepada lembaga pendidikan merupakan hal yang wajar.

Merdeka Belajar dan program Literasi Sekolah yang sudah masuk dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) bisa dimanfaatkan sebagai kunci masuk memperkenalkan warga sekolah agar lebih perhatian kepada kesehatan diri dan lingkungan.

Sosialisasi penggunaan plastik yang bijaksana dan bahayanya plastik harus disosialisasikan masuk dalam setiap mata pelajaran. Sosialisasi tersebut bukan hanya dilakukan oleh guru kimia, biologi atau guru olah raga saja, semua guru harus melakukan itu menggunakan pendekatan mata pelajaran masing-masing.

Mengurangi belanja secara daring, berbelanja dengan membawa tas ramah lingkungan sendiri (tentunya masih tetap dengan memperhatikan prokes COVID-19), serta memisahkan tempat sampah antara yang organik dan non organik, dimana akan memudahkan pemerintah setempat untuk memilih dan memilah sampah plastik agar bisa di daur ulang.

Kelompok Ilmiah Remaja (KIR), Pramuka dan organisasi ekstrakurikuler lainnya di sekolah juga harus berangkulan tangan dalam menghadapi tantangan dan bahaya yang benar-benar ada di depan mata, yaitu sampah plastik. Setiap grup ekstrakurikuler bisa membuat solusi agar sampah plastik bisa dikurangi, terutama di lingkungan sekolah.

Mungkin kita tidak bisa terlalu berharap banyak terhadap murid-murid kita, apalagi sampai bisa menemukan formula yang bisa mengurai plastik, sehingga bisa diurai oleh mikro organisme, tapi paling tidak usaha-usaha kecil yang bisa mengurangi penggunaan plastik di lingkungan sekolah, akan menjadi tonggak penting bagi gerakan-gerakan yang lebih besar.

Sangat diharapkan dari sekolah akan muncul gerakan-gerakan diet plastik dan nantinya akan mempengaruhi lingkungan keluarga, dan masyarakat sekitarnya.

Akhirnya mari kita rawat Indonesia yang tercinta ini, dengan cara memelihara tanah, laut dan udaranya, dan pastinya masyarakat dan dan budayanya.

*) Nanang Sumanang adalah guru Sekolah Indonesia Davao, Filipina

Baca juga: "Pulau Plastik", sebuah alarm darurat sampah plastik

Pewarta: Nanang Sumanang *)
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021