Konflik antara tentara dan pasukan yang menentang aturan militer telah meningkat dalam beberapa hari terakhir di Myanmar timur dekat perbatasan negara bagian Shan dan Kayah, dengan puluhan pasukan keamanan dan pejuang lokal tewas, menurut penduduk dan laporan media.
Ribuan warga sipil juga telah meninggalkan rumah mereka akibat pertempuran tersebut dan juga menderita korban jiwa.
"Dengan kesedihan dan rasa sakit yang luar biasa, kami mencatat penderitaan kami atas serangan terhadap warga sipil yang tidak bersalah, yang mencari perlindungan di Gereja Hati Kudus, Kayanthayar," kata Kardinal Charles Maung Bo, yang merupakan Uskup Agung Yangon, dalam sebuah surat yang diunggah di Twitter .
Gereja di distrik Loikaw, ibu kota Negara Bagian Kayah yang berbatasan dengan Thailand, mengalami kerusakan parah selama serangan Minggu malam (23/5), kata Bo.
Myanmar didominasi umat Buddha tetapi beberapa daerah termasuk Kayah memiliki komunitas Kristen yang besar.
"Tindakan kekerasan, termasuk penembakan terus menerus, menggunakan senjata berat pada kelompok ketakutan yang sebagian besar terdiri dari perempuan dan anak-anak" telah menimbulkan korban," kata Bo..
"Ini harus dihentikan. Kami mohon kepada kalian semua ... mohon jangan meningkatkan perang," imbau dia.
Bo berkata bahwa gereja, rumah sakit, dan sekolah dilindungi selama konflik oleh konvensi internasional.
Dia mengatakan serangan itu telah mendorong orang untuk melarikan diri ke hutan dengan lebih dari 20.000 orang mengungsi dan sangat membutuhkan makanan, obat-obatan, dan peralatan kebersihan.
Penduduk lain di daerah itu mencoba membantu orang-orang telantar yang diperkirakan pada Rabu jumlah yang telah meninggalkan rumah mereka sekarang meningkat menjadi antara 30.000 dan 50.000 orang, dan masih menggunakan gereja untuk berlindung.
"Orang tua dan anak-anak ada di gereja. Semua gereja telah memasang bendera putih untuk menghentikan penembakan," kata pria berusia 20 tahun, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya.
Dia mengatakan ketegangan masih dirasakan di daerah itu, dan menuding militer terus menggunakan senjata berat terhadap milisi lokal yang bersenjata ringan.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak tentara mengambil alih kekuasaan pada 1 Februari dan menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi, dengan protes harian, pawai, dan pemogokan nasional melawan junta, yang telah berjuang untuk menegakkan ketertiban saat kelompok oposisi berkembang.
Junta Myanmar telah menanggapi perlawanan dengan kekuatan mematikan hingga menewaskan lebih dari 800 orang, menurut kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik.
Namun, militer membantah angka ini dan pemimpin kudeta Min Aung Hlaing baru-baru ini mengatakan sekitar 300 orang telah tewas dalam kerusuhan itu, termasuk di antaranya 47 polisi.
Militer juga bertempur di sejumlah daerah, melawan tentara etnis minoritas yang sudah terlebih dahulu ada, dan milisi lokal yang dibentuk dalam beberapa minggu terakhir---banyak yang dipersenjatai dengan senapan sederhana dan senjata rakitan.
Min Aung Hlaing telah mengecilkan risiko kekerasan yang berubah menjadi konflik yang lebih besar.
"Saya tidak berpikir akan ada perang saudara," kata dia kepada media berbahasa China, Phoenix Television, yang berbasis di Hong Kong dalam wawancara pada 20 Mei.
Sumber: Reuters
Baca juga: Militer: 86 orang tewas dalam pertempuran di barat laut Myanmar
Baca juga: Paus akan bertemu Panglima Myanmar dan pengungsi Rohingya
Baca juga: Pertempuran sengit berkecamuk di Kokang, Myanmar
Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2021