Studi itu, yang didukung oleh lembaga riset (Fapesp) dan Universitas Federal Sao Paulo pemerintah Negara Bagian Sao Paulo, dilakukan hingga akhir April ketika penularan virus corona meningkat.
Para peneliti menemukan bahwa tingkat antibodi di seluruh negeri sangat beragam.
Misalnya 9,89 persen warga di Negara Bagian Ceara memiliki antibodi dan 31,4 persen di Amazonas, negara bagian yang mengalami wabah parah virus corona dan bahkan memunculkan bentuk baru yang berkembang di dalam negeri --yang dikenal sebagai varian P1.
"Perolehan ini menunjukkan bahwa terdapat banyak variasi spasial dalam epidemi. Kita memiliki sejumlah epidemi dan tidak cuma satu di Brazil," kata kepala studi, profesor Marcelo Burattini dari Unifesp.
Keberadaan antibodi COVID-19 memperlihatkan bahwa seseorang kemungkinan terinfeksi virus di sejumlah titik dan juga mungkin menandakan bahwa orang tersebut memiliki beberapa imunitas.
Studi itu menguji 120.000 orang di 133 kota madya di seluruh Brazil antara 25 Januari-24 April. Burattini mengatakan mayoritas warga belum divaksin lantaran pengujian dipusatkan antara Januari-pertengahan Februari, ketika program vaksinasi nasional baru saja dimulai.
"Kurang dari 1 persen orang yang diuji mengatakan mereka telah menerima vaksin dan hampir tidak ada dari mereka yang mendapatkan vaksin kedua," katanya.
Brazil menghadapi wabah terparah COVID-19 kedua di dunia, setelah Amerika Serikat, dengan mencatatkan 450.000 lebih kematian. Setelah berbulan-bulan meremehkan bahaya virus corona, Presiden Jair Bolsonaro menuai kecaman atas penanganannya terhadap pandemi dan peluncuran vaksin yang lamban serta tidak merata.
Sumber: Reuters
Baca juga: Hakim Brazil: Mantan menkes bisa bungkam saat penyelidikan kasus COVID
Baca juga: Brazil mulai vaksinasi atlet dan staf jelang Olimpiade Tokyo
Baca juga: Brazil hentikan penggunaan vaksin COVID AstraZeneca pada ibu hamil
Layanan darurat, tentara Brazil mengirim oksigen ke Amazonas
Pewarta: Asri Mayang Sari
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2021