Menurut dia, berbeda dengan model pembangunan konvensional yang mengandalkan praktik tidak berkelanjutan seperti eksploitasi sumber daya alam dan bahan bakar fosil sebagai sumber pemenuhan kebutuhan energi, ekonomi hijau menerapkan praktik ekonomi yang kuat, berkelanjutan, dan ramah lingkungan.
"Penerapan ekonomi hijau selaras target penurunan emisi karbon dan peningkatan bauran sumber energi terbarukan, sebagaimana telah disetujui dalam Paris Agreements melalui dokumen Nationally Determined Contribution (NDC)," kata Satya dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, saat menjadi pembicara webinar Korbid IV Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG).
Baca juga: Komitmen ekonomi hijau Jokowi perlu dukungan APBN 2022
Webinar dengan tema "Sosialisasi dan Edukasi RUU EBT sebagai Wujud Merealisasikan Transisi Energi di Indonesia" itu ditujukan untuk memberikan gambaran mengenai kondisi pengembangan EBT di Indonesia, tantangan perkembangannya, serta mendiskusikan solusi untuk mengatasi tantangan tersebut.
Dalam sambutannya, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan target Paris Agreement adalah menjaga kenaikan temperatur global tidak melebihi dua derajat Celcius dan mengupayakan menjadi 1,5 derajat Celcius.
Berdasarkan target tersebut, Pemerintah Indonesia menerbitkan UU No 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement, yang menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sesuai NDC pada 2030 yaitu 29 persen dari business as usual (BaU) dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dari BaU dengan bantuan internasional.
Regulasi energi telah diterbitkan yang bertujuan tidak hanya untuk penyediaan energi, tetapi juga energi rendah emisi seperti PP No 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Perpres No 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional.
Pemerintah juga telah melakukan finalisasi Grand Strategi Energi Nasional (GSEN), dengan visi mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi nasional.
Baca juga: Presiden Jokowi: RI harus dapat manfaat dari ekonomi hijau dan biru
Upaya pemerintah mempercepat transisi energi antara lain meningkatkan penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, yang ditargetkan mencapai 13 juta unit kendaraan roda dua dan dua juta unit kendaraan roda empat pada 2030, mempercepat pemanfaatan pembangkit EBT, dan mengoptimalkan produksi bahan bakar nabati (BBN).
Kapasitas pembangkit EBT ditargetkan bertambah 38 GW pada 2035 dan kompor listrik ditarget satu juta unit pada 2021 dan bertambah dua juta unit per tahun hingga 2030.
Satya Yudha mengatakan saat ini perlu ada perubahan paradigma bahwa energi bukan lagi sekadar komoditas, namun harus ditempatkan sebagai modal penting bagi pembangunan perekonomian bangsa.
Selain itu, komitmen Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim salah satunya ialah menurunkan emisi GRK sebesar 314-398 juta ton CO2 pada 2030 melalui pengembangan energi terbarukan, pelaksanaan efisiensi energi dan konservasi energi, serta penerapan teknologi energi bersih.
Satya juga menyampaikan DEN memiliki tugas merancang dan merumuskan kebijakan energi nasional, menetapkan rencana umum energi nasional, menetapkan langkah-langkah penanggulangan kondisi krisis dan darurat energi, dan mengawasi pelaksanaan kebijakan bidang energi yang bersifat lintas sektor.
"Oleh sebab itu, DEN akan mengawal target EBT dan pengurangan emisi karbon sesuai dengan regulasi yang telah ditetapkan," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan saat ini bauran EBT sudah mencapai 11,2 persen.
Menurut dia, kapasitas terpasang PLT EBT terus tumbuh lima persen per tahun terutama dari hidro, panas bumi, dan bioenergi.
Dadan juga menyampaikan beberapa program pengembangan EBT dalam GSEN antara lain menambah kapasitas pembangkit EBT sebesar 38 MW hingga 2035, memprioritaskan energi surya, serta pemanfaatan EBT nonlistrik/non-BBN seperti briket dan pengeringan produk pertanian biogas.
Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021