Salah satu kabupaten yang getol dalam hilirisasi komoditas yakni Musi Banyuasin, yang mana sudah menghasilkan aspal karet dan minyak sawit jenis industrial Vegetable Oil (IVO).
Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex di Sekayu, Senin (31/5), mengatakan Muba sudah melakukan transformasi ekonomi yakni bukan hanya menjual barang metah tapi kini sudah menghilirkan karet dan sawit dengan beragam program yang terintegrasi dari sisi hulu hingga hilir.
Tujuan dari transformasi ekonomi ini tak lain untuk mendapatkan nilai tambah karena selama ini para petani rakyat sangat tergantung dengan harga di pasar ekspor.
Namun dengan adanya hilirisasi, maka harga dapat terkerek naik karena adanya serapan dalam negeri.
Petani setempat mampu menikmati harga lateks Rp21.000 per Kg setelah dilakukan pengolahan oleh Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar, sementara sebelumnya jika hanya menjual bahan olahan karet (bokar) hanya berkisar Rp9.000—Rp10.000 per Kg.
Sementara untuk IVO, rencananya penyerapan produk hasil petani sawit Muba ini akan mulai dilakukan pada 2021 untuk menyuplai kebutuhan kilang RU III Plaju, Sumatera Selatan.
Untuk aspal karet, Muba sudah bisa menyuplai kebutuhan untuk bahan baku pembangunan jalan nasional di Sumatera. Sementara untuk IVO akan menyuplai ke Pertamina untuk kebutuhan produksi B30.
Musi Banyuasin bertekad merealisasikan hilirisasi komoditas ini karena hampir 80 persen penduduknya menggantungkan hidup pada sektor ini.
Berdasarkan data pemkab diketahui, luas perkebunan karet rakyat mencapai 459.032 Hektare, perusahaan 7.361 Hektare, sementara perkebunan kelapa sawit rakyat 141.192 Hektare dan perusahaan 302.279 Hektare.
Kepala Bank Indonesia Provinsi Sumatera Selatan Hari Widodo mengatakan langkah awal yang sudah dilakukan Kabupaten Muba itu patut diapresiasi karena dapat menjadi daya ungkit perekonomian Sumatera Selatan.
Produksi karet Sumsel dalam tiga tahun terakhir memiliki pangsa sebesar 75,82 persen terhadap nasional atau menjadi daerah penghasil utama di Tanah Air. Sedangkan pangsa ekspor karet mencapai 44,53 persen dari total ekspor Sumsel, dengan produksi sekitar 1 juta ton karet per tahun.
Sementara untuk produksi CPO Sumsel dalam tiga tahun terakhir memiliki pangsa 14,89 di Sumatera atau tertinggi ketiga setelah Riau dan Sumatera Selatan, dengan produksi 3,3 juta ton CPO per tahun.
Dengan potensi yang luar biasa tersebut, maka sepatutnya Sumsel menjadikan hilirisasi komoditas karet dan sawit ini menjadi hal penting karena hampir 50 persen penduduknya mengantungkan hidup pada sektor ini.
Di tengah pandemi COVID-19 ini, patut disyukuri karena sektor perkebunan sawit dan karet tetap tumbuh positif di Sumsel karena dari sisi ekspor tetap tinggi permintaannya. Di saat, pariwisata anjlok justru komoditas menjadi penyelamat bagi Sumsel.
Namun memang masih disayangkan, komoditas ini sebagian besar hanya memenuhi pasar ekspor.
Hari tak menyangkal bukan perkara mudah untuk mendorong hilirisasi ini karena dibutuhkan modal yang sangat besar.
Sumsel yang menjadi penghasil karet terbesar di Indonesia dengan luas lahan kurang lebih 1,3 juta Hektare, hingga kini tidak memiliki pabrik ban lantaran investor menilai belum ada selisih jika dibandingkan membangun pabrik di Jawa.
“Kata kuncinya tiga hal, Sumsel harus memperbaiki infrastuktur, membenahi regulasi dan memberikan kepastian hukum,” kata dia.
Namun, Hari juga mengarisbawahi bahwa Sumsel juga tidak boleh terpaku pada hilirisasi karet dan sawit, karena sejatinya ada potensi lain yang dapat menjadi penopang perekonomian, yakni perikanan, pariwisata dan perkebunan kopi.
Ketua Bidang Komunikasi, Publikasi dan Kampaye Positif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Provinsi Sumatera Selatan, Anung Riyanta, mengatakan, program hilirisasi komoditas di Sumatera Selatan ini sebenarnya sudah dicanangkan sejak lama. Namun kerap sulit terealisasi lantaran Sumsel tidak memiliki pelabuhan laut dalam (samudera).
“Pelabuhan bagian penting dari investasi. Sumsel selama ini outletnya berada di Pelabuhan Belawan (Medan), Pelabuhan Dumai, hingga Pelabuhan Panjang Lampung. Sehingga ini yang membuat investor sulit didatangkan,” kata dia.
Oleh karena itu, semua stakeholder sawit sangat mengharapkan rencana pembangunan Pelabuhan Tanjung Carat dapat segera terealisasi karena untuk di Sumsel terdapat 1,2 juta Hektare lahan sawit dengan produksi 3,3 juta ton CPO per tahun.
Di Sumsel juga terdapat 267 perusahaan, 77 unit pabrik pengolahan dengan produksi 4.000 ton Fresh Fruit Bunches/hour.
“Jika tidak ada investor yang masuk maka potensi yang ada ini akan terbuang percuma. Tidak ada nilai tambah bagi Sumsel karena yang dapatnya daerah lain,” kata dia.
Akan lebih baik jika pelabuhan tersebut juga terintegrasi dengan Kawasan Ekonomi Khusus industri sawit seperti yang ada di Pelabuhan Tanjung Priuk.
Kepala Biro Perekonomian Pemprov Sumsel Afrian Joni menambahkan, pemprov terus mendorong pembangunan Pelabuhan Tanjung Carat tersebut yang ditargetkan akan ground breaking pada akhir tahun 2021.
Pembangunan pelabuhan ini sudah mendapatkan lampu hijau dari pemerintah pusat yang akan mengucurkan dana sekitar Rp300 miliar pada tahun ini.
Hadirnya pelabuhan ini nantinya diharapkan dapat menjadi daya ungkit perekonomian Sumsel sehingga daerah tidak lagi sebatas menjadi eksportir bahan mentah tapi juga sudah menjadi eksportir barang setengah jadi dan barang jadi.
Dengan adanya infrastruktur ini maka nilai ekspor Sumsel akan terus meningkat, yang sama artinya dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi.
“Selain itu investor dinyakini akan berani masuk ke Sumsel,” kata dia.
Tanjung Carat
Keinginan Sumatera Selatan memiliki pelabuhan laut sudah didengungkan sejak 1990-an. Bahkan megaproyek ini selalu menjadi program prioritas setiap kepala daerah yang terpilih, meskipun harus diakui bahwa untuk mewujudkan keinginan itu bukan perkara mudah karena berkaitan dengan pendanaan dan persaingan bisnis pelabuhan antarnegara.
Namun babak baru sudah dimulai tahun ini, Sumsel sudah mendapatkan lampu hijau dari pemerintah pusat terkait pendanaan pembangunan Pelabuhan Tanjung Carat di Kabupaten Banyuasin.
Presiden Joko Widodo bahkan menargetkan pada akhir 2021 ini sudah ‘ground breaking’ dengan mengucurkan dana sekitar Rp300 miliar.
Gubernur Sumsel Herman Deru mengatakan rencana pemerintah pusat untuk membangun dua pelabuhan besar pada 2021 menjadi berkah tersendiri bagi Sumatera Selatan dan Maluku.
Kementerian Keuangan telah mengalokasikan dana masing-masing provinsi senilai Rp300 miliar agar pelabuhan yang direncanakan bisa ground breaking pada akhir 2021, dengan target rampung 2023.
Untuk tahap awal, Sumsel sudah memastikan lahan seluas 461 hektare yang diproyeksikan sebagai lokasi pelabuhan di Kabupaten Banyuasin itu berstatus clear and clean.
Terkait anggarannya yang cukup fantastis untuk pembangunan Pelabuhan Tanjung Carat sesuai desain titik awal, ia optimistis hal itu bisa disiasati dengan memodifikasi desain konstruksi.
Menhub Budi Karya Sumadi saat meninjau secara langsung lokasi Pelabuhan Tanjung Carat pada 20 Februari 2021 mengatakan, sebelum melakukan pekerjaan fisik, pemerintah pusat ingin memastikan soal kepemilikan lahan serta kedalaman dan sedimentasi di lokasi tersebut.
Penetapan status kepemilikan lahan ini sangat penting agar proyek ini benar-benar terealisasi pada akhir tahun 2021.
“Kami datang dan melihat langsung untuk menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo yang menginginkan agar pelabuhan tersebut segera dibangun tahun ini juga dan selesai 2023,” kata Budi.
Sumsel sejak lama ingin memiliki pelabuhan laut dalam (samudera) agar menjangkau negara tujuan ekspor tanpa harus melalui pelabuhan di provinsi lain.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Selatan diketahui ekspor komoditas Sumsel yang menggunakan pelabuhan selain Pelabuhan Boom Baru Palembang menunjukkan tren peningkatan pada 2021 dibandingkan tahun lalu.
Arus logistik di pelabuhan selain Pelabuhan Boom Baru ini mencapai 16,32 persen per Februari 2021, sementara pada periode yang sama tahun lalu hanya 14,93 persen dari total ekspor.
Sebagian komoditas asal Sumsel diekspor melalui pintu perdagangan Pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta), Pelabuhan Jambi, Pelabuhan Panjang (Lampung), dan Bandara Soekarno Hatta.
Sumsel tidak akan maksimal dalam perdagangan luar negeri karena memiliki daya saing yang rendah dibandingkan daerah lain, mengingat tidak memiliki pelabuhan laut.
Namun, jika pelabuhan samudera itu sudah tersedia maka ekspor dapat langsung dilakukan ke negara tujuan tanpa melalui pelabuhan di daerah lain.
Selain itu, hadirnya pelabuhan samudera ini dipandang sebagai solusi atas mendangkalnya alur Sungai Musi yang setiap tahun semakin menyulitkan pelayaran kapal-kapal pengangkut batu bara, karet dan minyak sawit.
Pengamat Ekonomi Sumsel dari Universitas Sriwijaya (Unsri) Didik Susetyo mengatakan jika pelabuhan laut ini terealisasi maka cita-cita Sumsel untuk menghilirkan produknya dapat terwujud.
Sumsel bakal menjadi tujuan investasi apalagi nantinya dilengkapi Kawasan Ekonomi Khusus dan akses tol ke Jalan Tol Trans Sumatera karena akan berdiri pabrik produksi barang jadi seperti ban, sarung tangan, minyak goreng dan lainnya, yang selama ini diharapkan.
Jika ini terwujud maka menjadi peluang Sumsel untuk naik kelas perekonomiannya bukan sekadar mimpi belaka.
Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021