"Indonesia sebagai negara yang dikenal sebagai negara mega biodiversity (biodiversitas) perlu melakukan upaya keras agar dapat mengurangi perdagangan satwa liar, terutama yang dilindungi dengan status langka," katanya sebagaimana dikutip dalam siaran pers universitas yang diterima di Jakarta, Rabu.
"Jika hal ini tidak serius dilakukan maka dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, status mega biodiversity akan hilang dan tentunya akan merusak reputasi Indonesia di tatanan internasional," ia menambahkan.
Ronny mengemukakan, perdagangan satwa liar diduga merupakan penyebab utama kelangkaan dan kepunahan spesies satwa serta jalur penularan dan persebaran penyakit ke berbagai belahan dunia.
Ia menyampaikan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa Indonesia tercatat sebagai eksportir besar produk satwa liar bersama dengan Jamaika dan Honduras sedangkan Amerika, Perancis, dan Italia tercatat sebagai negara importir produk satwa liar terbesar dunia.
Menurut hasil studi yang diterbitkan Science Advances, ia melanjutkan, pusat perdagangan satwa liar seperti burung, mamalia, dan amfibi berada di wilayah pegunungan Andes dan hutan hujan Amazon, sub-Sahara Afrika, Asia Tenggara, dan Australia.
"Sebagai gambaran dari tahun 2006 hingga 2015 telah diperdagangkan sebanyak 1,3 juta hewan dan tumbuhan hidup; 1,5 juta kulit; dan 2.000 ton daging satwa liar diekspor secara legal dari Afrika ke Asia," kata Ronny.
"Jadi dapat kita bayangkan jika data perdagangan satwa liar digabungkan maka skala perdagangan satwa liar dunia ini sangatlah besar," ia menambahkan.
Menurut dia, gap antara negara kaya dan miskin telah memicu maraknya perdagangan satwa liar ilegal antar negara karena dalam perdagangan satwa liar sebagian besar satwa liar berasal dari negara miskin atau negara sedang berkembang.
Di Indonesia, meski pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan mengatasinya, perdagangan satwa liar masih marak terjadi.
"Di pasar-pasar hewan, kita masih dapat melihat bagaimana satwa liar yang dilindungi masih diperdagangkan dengan leluasa," kata Ronny.
Ia mengemukakan bahwa untuk memutuskan mata rantai perdagangan satwa liar, perjanjian pelarangan perdagangan antar negara saja tampaknya belum cukup mengingat salah satu faktor pemicunya adalah masalah ekonomi.
"Melarang dan menghukum saja tidak akan memecahkan masalah karena akar permasalahan yang memicu pelaku melakukan perdagangan satwa liar ini adalah masalah ekonomi," katanya.
Selanjutnya, menurut dia, penanganan masalah ekonomi yang memicu terjadinya perdagangan satwa liar juga mesti diatasi.
"Indonesia memang masih memiliki hutan, namun satwa liar penghuni hutan secara pasti akan menghilang jika tidak dilakukan tindakan penegakan hukum yang serius dan juga pemenuhan kebutuhan masyarakat di sekitar hutan agar menjadi bagian dalam melakukan pelestarian satwa liar," demikian Prof. Ronny Rachman Noor.
Baca juga:
Aparat pemerintah gagalkan perdagangan ilegal 1.752 burung di Riau
ACB puji prestasi penindakan perdagangan satwa liar aparat Indonesia
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2021