Pakar dan ahli perikanan-kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) University Dr Hawis Madduppa menyatakan diperlukan pengembangan strategi untuk mengelola dan mengurangi dampak hasil tangkapan sampingan (bycatch) untuk menuju perikanan rajungan berkelanjutan.Kegiatan pelatihan tersebut juga menjadikan perikanan rajungan sangat memperdulikan dampak lingkungan sesuai dengan prinsip Marine Stewardship Council (MSC)
"Strategi itu penting dalam menanggapi isu seputar ETP species sebagai hasil tangkapan sampingan yang dapat berdampak cukup besar dan mempengaruhi hasil perikanan rajungan serta fungsi ekosistem," katanya di Bogor, Jawa Barat, Minggu.
Karena itu, kata dia, bersama para pihak terkait, pada akhir Mei lalu digelar pelatihan mitigasi dan penanganan "endangered, threatened and protected (ETP) species atau spesies dilindungi, berbahaya, dan terancam punah, secara daring di Jakarta dan luring di Pamekasan, Jawa Timur.
Kegiatan pelatihan yang didukung Program Ocean Stewardship Fund (OSF) dari lembaga sertifikasi ekolabel dunia Marine Stewardship Council (MSC) itu diikuti unsur Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP), enumerator (staf pencatat data) perikanan Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI), nelayan rajungan, perguruan tinggi dan LSM.
Menurut Hawis Madduppa, Associate Professor Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan (TIK) IPB University itu, kegiatan perikanan, khususnya sektor penangkapan perikanan rajungan seringkali secara tidak sengaja menangkap ETP species sebagai hasil tangkap sampingan.
Ia menjelaskan ETP species yang sering dijumpai di laut yaitu hiu, penyu, burung laut, belangkas dan mamalia laut seperti lumba-lumba, paus dan dugong.
Namun, kata dia, secara spesifik dalam perikanan rajungan, hasil tangkapan sampingan yang tergolong ETP species hanya belangkas (Limulidae).
Terkait hal itu, dosen Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Eka Nurrahema Ning Asih, M.Si mengakui bahwa ETP species yang terkadang ditemui di perikanan rajungan adalah belangkas itu.
Ia menambahkan spesifik spesies belangkas adalah salah satu hewan yang dilindungi sehingga perlunya pengelolaan yang tepat.
Kegiatan awal pelatihan itu, kata Hawis, juga sebagai upaya pendataan data hasil tangkapan sampingan ETP dari seluruh enumerator APRI yang tersebar di 11 lokasi wilayah penangkapan rajungan.
"Kegiatan pelatihan tersebut juga menjadikan perikanan rajungan sangat memperdulikan dampak lingkungan sesuai dengan prinsip Marine Stewardship Council (MSC) ," katanya.
Sementara itu Subkoordinator Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut KKP Dr Iman Wahyudin, SP, M.Si dalam kesempatan itu memberikan arahan terkait pentingnya konservasi dan penanganan terhadap biota-biota ETP species ini.
Apalagi, kata dia, hal itu juga berkaitan dengan program kerja dari KKP yang juga menjaga keanekaragaman laut Indonesia tetap terjaga.
Karena itu, kata dia, pihaknya memberikan dukunganya terhadap upaya APRI untuk melakukan pendataan ETP species dari perikanan rajungan di Indonesia ini.
Hawis Maddupa yang juga Direktur Eksekutif APRI menambahkan APRI juga melakukan kerja sama dengan Cetacean Sirenian Indonesia (CETASI) dalam upaya penanganan dan mitigasi hewan mamalia laut sebagai langkah ke depan dalam pengelolaan perikanan rajungan yang aman dan berkelanjutan.
Menurut Dr Putu Liza Kusuma Mustika dari CETASI guna menanggapi isu ETP species bersam APRI kedua pihak memberikan sosialisasi terkait hewan-hewan dilindungi, berbahaya, dan terancam punah untuk menambah kepedulian nelayan untuk saling menjaga laut.
Karena itu, dalam pelatihan tersebut mereka memberikan pengarahan khusus kepada nelayan dari kelompok usaha bersama (KUB) nelayan, seperti KUB Samudera Jaya IV & V dan KUB Capit Biru untuk upaya penanganan hewan mamalia laut.
Baca juga: KKP rutinkan penebaran benih rajungan antisipasi penurunan populasi
Baca juga: Mahasiswa IPB University raih dana hibah penelitian dari APRI
Baca juga: Program OSF bantu Rp900 juta kelola rajungan Indonesia berkelanjutan
Baca juga: KKP kembangkan teknologi pembenihan komoditas rajungan berkelanjutan
Pewarta: M Fikri Setiawan
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021