"MTM selaku mantan komisaris PT. CTSP tahun 2010-2011, dilakukan penahanan untuk waktu 20 hari, terhitung 9 sampai 28 Juni 2021 di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Salemba Cabang Kejaksaan Agung," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak di Gedung Bundar Kejagung, Jakarta, Rabu.
Leonard menjelaskan, MTM merupakan satu dari enam tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengalihan izin usaha tambang (IUP) batu bara di Kabupaten Sarolangun, Jambi.
Keenam tersangka itu adalah BM selaku Direktur Utama PT. Indonesia Coal Resources (ICR) periode 2008-2014, ATY selaku Direktur Operasi dan Pengembangan, AL selaku Direktur Utama PT. Antam periode 2008-2013, HW selaku Senior Manager Corporate Strategic Development PT. Antam dan MH selaku Komisaris PT. Tamarona Mas International periode 2009 sampai sekarang.
Empat tersangka telah ditahan Senin (7/6), disusul satu tersangka lainnya ATY pada Selasa (8/6). Hari ini, MTM memenuhi panggilan penyidik setelah sempat mangkir dari pemeriksaan hari sebelumnya.
Baca juga: Kejagung tahan empat tersangka kasus korupsi anak perusahaan Antam
Baca juga: Kejagung menahan lagi satu tersangka korupsi anak perusahaan Antam
Adapun peran MTM dalam perkara ini, kata Leonard, tersangka MTM telah bersepakat dengan tersangka BM selaku Direktur Utama PT. ICR tahun 2008-2014 dalam menentukan harga akuisisi sebesar Rp92,5 miliar walaupun belum dilakukan "due dilligence".
Tersangka MTM bersama dengan tersangka MH selaku Komisaris PT. Tamarona Mas Internasional periode 2009-sekarang, bekerja sama untuk menyiasati seolah-olah menanam saham Rp1,25 miliar di PT. Citra Tobindo Sukses Perkasa (CTSP) supaya PT. Citra Tobindo Sukses Perkasa (CTSP) dapat digunakan sebagai perusahaan perantara peralihan IUP dari PT. Tamarona Mas Internasional (TMI).
"Tersangka MTM menerima pembayaran sebesar Rp56,5 miliar dari hasil akuisisi PT CTSP oleh PT. Indonesia Coal Resources (ICR) anak perusahaan Antam," ungkap Leonard.
Peran tersangka MTM dan tersangka MH lainnya menjamin keaslian dokumen-dokumen perijinan, padahal dokumen banyak yang tidak lengkap dan hanya fotocopy saja.
Atas perbuatannya penyidik menyangkakan dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021