Wakil Komite Tetap Industri Hulu dan Petrokimia Kadin Indonesia Achmad Widjaja menilai setelah lebih dari setahun diberlakukan pemerintah, kebijakan harga gas enam dolar AS per MMBTU kepada tujuh industri tertentu, belum memberikan dampak optimal.Belum terlihat ketujuh industri itu melakukan inovasi, meningkatkan daya saing, dan memberikan 'multiplier effect' seperti yang diharapkan
"Ini sudah setahun, apa yang dikerjakan, mana hasilnya. Kita harus ekspansi, kalau enggak kita balik lagi jalani bisnis as usual," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Kebijakan harga gas enam dolar AS per MMBTU tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Perpres tersebut kemudian diturunkan dalam Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.
Adapun aturan teknisnya dituangkan dalam Kepmen ESDM Nomor 89 K/10/MEM/2020 tentang Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.
Dalam Kepmen ESDM 89/2020 itu disebutkan tujuh sektor industri yang memperoleh gas dengan harga khusus enam dolar AS per MMBTU yakni industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca dan industri sarung tangan karet.
Berdasarkan aturan itu, skema harga ini berlangsung dari 2020 sampai 2024.
Namun, menurut Achmad, sudah lebih dari satu tahun kebijakan harga gas enam dolar AS per MMBTU dijalankan, belum terlihat ketujuh industri itu melakukan inovasi, meningkatkan daya saing, dan memberikan multiplier effect seperti yang diharapkan.
Ia mengatakan evaluasi perlu dilakukan sesegera mungkin dan tidak perlu menunggu sampai 2024.
Pasalnya, jika kebijakan ini diberlakukan terlalu lama tanpa memberi dampak ekonomi yang sepadan, maka negara akan semakin dirugikan.
Dengan penetapan harga enam dolar AS per MMBTU, pendapatan pemerintah dari penjualan gas menurun drastis.
Untuk mengurangi potensi kerugian negara, Achmad meminta Kementerian ESDM mengawasi industri-industri mana saja yang sudah memanfaatkan fasilitas gas murah tersebut dan mana yang belum.
Sekaligus memastikan bahwa penyerapannya optimal dan merata, terhadap tujuh sektor industri yang termaksud dalam aturan.
"Menteri Perindustrian harus tagih ke para industriawan, mana programnya untuk inovasi dan daya saing," kata Achmad.
Selain Kementerian Perindustrian, stakeholder terkait seperti Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, dan Kementerian Keuangan juga perlu duduk bersama dan melakukan evaluasi terhadap regulasi harga gas industri ini.
Apakah dampak yang diharapkan sudah sesuai atau sebaliknya. Sebab, penentuan harga gas ini terkait dengan pengembangan industri dan pendapatan negara sehingga perlu dibahas bersama.
Pengamat energi Mamit Setiawan sependapat dengan Kadin. Harga gas untuk industri tertentu yang akan diberlakukan sampai 2024 harus segera dievaluasi.
"Saya tidak melihat ada multiplier effect dari kebijakan harga gas ini. Yang terjadi justru beban yang ditanggung badan usaha menjadi semakin besar," ujarnya.
Mamit menambahkan untuk mengukur dampak dari kebijakan tarif ini sebenarnya mudah. Hal itu dapat diukur dari kinerja produk ketujuh industri yang mendapat perlakuan khusus tersebut. Misalnya penjualannya apakah meningkat, pendapatannya apakah meningkat, termasuk di dalamnya serapan tenaga kerja baru dan dampaknya terhadap pembayaran pajak kepada negara.
"Sehingga pemerintah perlu menagih kepada tujuh industri ini apakah target yang diinginkan pemerintah sudah tercapai atau belum. Apalagi kabarnya kebijakan ini bakal di perluas ke industri lain. Jika itu terjadi akan sangat merugikan negara, karena dampak dari kebijakan sebelumnya saja tidak jelas hasilnya," tegas Mamit.
Baca juga: Kemenperin dorong industri nikmati harga gas kompetitif
Baca juga: Kebijakan harga gas industri dinilai bisa rugikan investor PGN
Baca juga: PGN perluas pemanfaatan gas bumi sektor komersial industri
Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021