Film menyoroti napak tilas musik rock dan metal yang terpinggirkan di Kota Bandung hingga menjadi musik mainstream pada jamannya, menunjukkan bahwa komunitas musik ini dapat saling merangkul dalam keterbatasan. Berbagai testimoni dari berbagai sumber mulai dari ahli sejarah, pelaku pergerakan musik Bandung hingga jurnalis yang pernah berhubungan langsung dengan Gedung Saparua ataupun musik rock-metal diangkat dalam film.
Baca juga: Pergerakan musik rock dan metal di Saparua dituangkan dalam dokumenter
Beberapa di antaranya adalah Sam Bimbo, Arian13 (Vokalis Seringai), Dadan Ketu (Manager Burgerkill/Riotic Records), Eben (Gitaris Burgerkill), Suar (Mantan Vokalis Pure Saturday), Wendi Putranto (jurnalis musik, manajer Seringai), Candil (ex vokalis Seurieus), Fadli Aat (Diskoria), Buluks (Superglad, Kausa) dan Idhar Resmadi (jurnalis musik).
Para narasumber tersebut menceritakan tentang pengalaman mereka saat tampil di Gedung Saparua, menjadi penonton dari berbagai pertunjukan musik metal hingga bertindak sebagai penyelenggara acara.
Baca juga: Band metal Jasad guncang Karawang
Menyaksikan film dokumenter ini tidak hanya dapat melihat bagaimana para band rock-metal tampil dengan alat musik seadanya, tapi juga ikut merasakan antusias penonton yang hadir dalam pertunjukan musik yang populer di era 1990an itu. Bahkan menurut para narasumber, bisa hadir atau ikut tampil di Gedung Saparua merupakan sebuah eksistensi dan kebanggaan di masa itu.
Berbicara mengenai pergerakan musik Bandung, tentu tak bisa lepas dari Gedung Saparua itu sendiri. Gedung yang kini bernama GOR Saparua itu, adalah bukti dari semangat tak kenal menyerah yang ditampilkan oleh pegiat musik Bandung.
Menurut data yang dihimpun oleh Alvin, acara musik di Saparua sudah ada sejak tahun 1963. Dimulai oleh Aneka Nada, band yang diperkuat oleh Sam dan Acil Bimbo juga Guntur Soekarno Putra hingga kemudian dimaksimalkan penggunaannya oleh generasi berikutnya terutama angkatan 1990an.
Dalam penuturan ahli sejarah Bandung yang ada pada film dokumenter ini, Gedung Saparua sejak berdirinya memang sengaja dialihfungsikan sebagai jadi sarana panggung seni dan hiburan beberapa generasi.
Gedung Saparua pun menjadi fenomena menarik di dekade terakhir sebelum gedung ini tak lagi dipakai untuk lokasi konser musik karena dikembalikan ke fungsi aslinya sebagai tempat berolahraga.
Baca juga: Selera Musik Buruk Bisa Merusak Hubungan
"Gelora: Magnumentary of Gedung Saparua" pada akhirnya juga menyoroti permasalahan yang ada terkait pemanfaatan GOR Saparua. Para narasumber mempertanyakan posisi panggung sebagai wadah kreatif para musisi di Bandung saat ini dan di masa mendatang.
"Tidak cuma tentang skena underground, tapi juga sejarah pertunjukan musik. Di ending film disampaikan bahwa GOR Saparua sudah tidak bisa untuk pertunjukan musik dan belum jadi cagar budaya," kata Edy Khemod, Edy Khemod, drummer Seringai dan juga Creative Director dari Cerahati dalam peluncuran perdana "Gelora: Magnumentary of Gedung Saparua" beberapa waktu lalu.
Di akhir film, para pegiat musik berharap agar Bandung yang disebut sebagai Kota Musik memiliki sebuah gedung pertunjukan yang layak, yang memang diperuntukkan untuk terselenggaranya pentas seni dan panggung musik.
Film dokumenter berdurasi satu jam ini, tayang mulai 15 Juni 2021 di laman Rich Music, Extreme Moshpit, Vidio, Loket dan Rock Nation.
Baca juga: Ketika indie menjadi arus utama, bagaimana dengan musik rock?
Baca juga: Musik rock pada era digital
Pewarta: Maria Cicilia
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021