Pakar gempa Universitas Andalas (Unand) Padang Dr Badrul Mustafa kembali mengingatkan warga Sumbar soal potensi gempa dari zona megathrust segmen Siberut yang masih belum mengeluarkan energi untuk dilepaskan.pulau yang sebelumnya turun akibat dorongan lempeng bisa naik kembali.
"Pada 1797 pernah terjadi gempa besar 8,9 dari segmen Siberut dan saat ini sudah memasuki periode ulang 200 tahun dengan potensi energi yang belum dilepaskan sebesar dua per tiga," kata dia di Padang, Rabu.
Ia menyampaikan hal itu pada pemaparan di Media Center Dinas Kominfo Padang bersama Kepala Dinas Kominfo Padang Rudy Rinaldy dan Kepala Pelaksana BPBD Padang Barlius.
Ia menjelaskan Pulau Sumatera dilalui tumbukan lempeng Indoaustralia dengan Eurasia, lalu lempeng Indoaustralia menujam ke bawah dan akibat dorongan tersebut terakumulasi energi.
"Di Kepulauan Mentawai ada dua segmen yaitu Sipora-Pagai dan segmen Siberut," kata dia.
Ia memaparkan dari hasil penelitian LIPI diketahui waktu periode ulang gempa besar dari kedua segmen tersebut yang diidentifikasi dari pola tumbuh dan matinya karang di sekitar pulau.
"Ketika gempa terjadi pulau yang sebelumnya turun akibat dorongan lempeng bisa naik kembali," ujarnya.
Untuk segmen Sipora-Pagai sudah terjadi pengulangan gempa sebanyak empat kali yaitu 12 September 2007 dengan kekuatan 8,4 pada13 September 2007 dengan skala 7,9 dan pada hari yang sama kembali terjadi dengan skala 7,2 dan 25 Oktober 2010 dengan kekuatan 7,2.
Sedangkan di segmen Siberut sudah pernah terjadi beberapa kali gempa yang cukup kuat yaitu pada 10 April 2005 atau beberapa hari setelah gempa Nias dengan kekuatan 6,7.
Lalu 30 September 2009 juga terjadi gempa dengan kekuatan 7,9 yang merupakan bagian dari segmen Siberut.
"Akan tetapi ini baru sepertiga energi yang dilepaskan dari segmen Siberut dan masih ada energi dua per tiga lagi sebagaimana pendapat ahli ITB Irwan Meilano," kata dia.
Baca juga: Terjadi 95 kali gempa bumi di segmen megathrust Enggano selama 2021
Baca juga: LIPI: Perulangan gempa merusak 5,6 bulan sekali
Oleh sebab itu yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kewaspadaan melalui mitigasi gempa dengan mempersiapkan diri sehingga seandainya terjadi jumlah korban dan kerusakan bangunan dapat diminimalkan.
"Kita tidak pernah tahu kapan akan terjadi bisa jadi malam ini, besok, dua hari lagi, minggu depan, bulan depan atau tahun depan dalam rentang 50 tahun ke depan," katanya.
Menurut dia dari hitungan pengulangan periode gempa 200 tahun di 1797 maka akan kembali terjadi pada 1997 dan berpeluang hingga 50 tahun ke depan.
Karena tidak tahu kapan datangnya yang bisa dilakukan adalah mempersiapkan diri dengan mitigasi yaitu pra bencana, saat bencana atau tanggap darurat dan pascabencana.
"Dari ketiga hal tersebut persiapan paling utama adalah mitigasi pra bencana karena ketika kita mempersiapkan diri sebaik-baiknya sebelum gempa terjadi maka korban bisa ditekan," ujarnya.
Ia mengemukakan yang perlu disiapkan yaitu mitigasi struktural menyangkut struktur bangunan karena yang paling banyak menimbulkan korban jiwa dan kerugian saat gempa adalah bangunan yang roboh.
"Perlu sekali mematuhi standar bangunan aman gempa yang sudah ditetapkan pemerintah agar risiko hancurnya bangunan yang dapat menimpa manusia bisa ditekan," kata dia.
Termasuk dalam hal ini menyiapkan jalur evakuasi sementara seandainya ada tsunami setelah gempa.
Lalu yang kedua perlu dilakukan mitigasi nonstruktural yaitu sosialisasi terus menerus kepada masyarakat dan simulasi gempa tanpa merasa bosan.
Selanjutnya para anggota keluarga membuat kesepakatan jika terjadi gempa apa yang harus dilakukan dan titik berkumpul di mana.
Baca juga: Siaga bencana, jangan lupakan potensi gempa megathrust Mentawai
Baca juga: Ahli prediksi Megathrust Mentawai akibatkan gempa 8,9 magnitudo
Pewarta: Ikhwan Wahyudi
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021