"Jadi dalam kunjungan ini saya mau tunjukkan bahwa ada harmoni antara budaya dan alam, apa itu harmoninya adalah bahwa adat harus melekat dengan alam," katanya kepada wartawan di Kupang, Jumat.
Menurut dia tak ada alam yang tidak didukung oleh adat, begitu pun tak ada adat yang tidak didukung oleh alam, karena hal itu nonsense . Oleh karena itu pertalian dua hal ini harus kuat.
Selain itu juga pemerintah juga mempunyai peran yang penting dalam hal ini. Oleh sebab itu ujar Timbul ada tiga pilar pendekatan dalam konservasi itu sendiri yakni pemerintah, pendekatan dari segi adat dan pendekatan dari segi agama itu sendiri.
"Ketiga hal ini harus menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dengan tujuan agar pengembangan kawasan itu bisa berjalan dengan baik," tambah dia.
Timbul juga mengatakan bahwa pihaknya sudah sedang membina dua pemuda dari warga sekitar Menipo untuk menjadi pemandu bagi pengunjung yang berkunjung ke lokasi itu.
Baca juga: Menipo dinilai bisa menjadi model pengembangan taman wisata alam
Baca juga: KLHK nilai TWA Menipo mampu tingkatkan kesejahteraan masyarakat
Pemandu yang dibina harus memiliki pengetahuan yang luas baik itu budaya serta alam yang ada di lokasi itu, sehingga kelak dapat meningkatkan kehidupan masyarakat di daerah itu.
Untuk diketahui bahwa Menipo sendiri bisa dikatakan sebagai miniaturnya pulau Timor. Hal ini karena daerah dengan lahan seluas 2.449 ribu hektare itu memiliki keunikan perpaduan antara hutan bakau dan hutan savana.
DI pulau itu hidup ratusan ekor rusa Timor dan juga burung kakatua jambul kuning, tempat bertelurnya penyu, tempat migrasi burung asal Australia dan tempat hidup ribuan ekor kelelawar.
Untuk menuju ke lokasi itu diperlukan waktu perjalanan sekitar 2-3 jam, dengan jarak kurang lebih 124 kilometer.
TWA Menipo sendiri juga merupakan kawasan konservasi yang menjadi model konservasi TWA di Indonesia.
Baca juga: Apar Mangrove Park, antara kelestarian alam dan destinasi wisata
Baca juga: Pengelola wisata diajak turut serta lestarikan satwa dan lingkungan
Pewarta: Kornelis Kaha
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021