"Sinyal masih sangat jarang dan media massa di sana juga jarang," katanya dalam acara Forum Komunikasi Jurnalis yang digelar secara virtual di Jakarta, Rabu.
Eka mengatakan bahwa saat ini BKKBN hanya mempunyai total 1,2 juta kader untuk mendukung upaya penanganan stunting di seluruh wilayah Indonesia. Dengan jumlah kader sebanyak itu, daerah-daerah yang berada di pelosok, termasuk daerah pelosok di Papua, belum seluruhnya bisa dijangkau.
"Jumlah kadernya tidak cukup untuk menangani lima juta balita, sehingga harus bermitra dengan perangkat desa di sana," katanya.
Guna mengatasi masalah keterbatasan kader dan akses jaringan telekomunikasi, Eka mengatakan, BKKBN menggagas program 1.000 mitra untuk 1.000 hari pertama kehidupan. Program itu mewadahi kemitraan para pihak yang terlibat dalam upaya penanganan stunting.
Eka menjelaskan pula bahwa upaya pencegahan dan penanganan stunting di Papua dilakukan melalui pendampingan bagi remaja sebelum menikah, pendampingan bagi ibu pada masa kehamilan, dan pendampingan pada saat kelahiran anak hingga anak berusia dua tahun.
"Usia ideal pernikahan menurut pakar adalah 21 tahun, ini diukur dari kesiapan reproduksinya. Kita juga mendampingi selama masa kehamilan janin untuk memastikan pasokan nutrisi tetap terjaga," katanya.
Pada saat bayi dilahirkan hingga menginjak usia dua tahun, Eka melanjutkan, kader akan mendampingi orang tua dalam memberikan nutrisi yang tepat pada anak.
Eka mengatakan, pemerintah berupaya menurunkan angka kasus stunting yang pada tahun 2020 masih sekitar 27 persen menjadi 14 persen pada 2024.
Baca juga:
Presiden tugaskan Mensos tangani stunting di lima provinsi
Kepala daerah diminta manfaatkan TKDD untuk turunkan stunting
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2021