• Beranda
  • Berita
  • Agenda "second track diplomacy" kesehatan di tengah pandemi COVID-19

Agenda "second track diplomacy" kesehatan di tengah pandemi COVID-19

27 Juni 2021 22:36 WIB
Agenda "second track diplomacy" kesehatan di tengah pandemi COVID-19
Penulis saat meliput konflik perang Palestina-Israel di Jalur Gaza, Palestina, akhir Desember 2008-awal Januari 2009. ANTARA/dok.pribadi.
Dunia saat ini masih terus berjuang untuk menghadapi masalah global kesehatan, yakni pandemi COVID-19, yang sedang dan terus diperjuangkan untuk bisa diatasi.

Pada saat yang sama, isu Palestina juga menjadi satu isu global yang banyak menaruh perhatian dari sejumlah negara karena rakyat dan bangsa Palestina, juga belum berhenti diserang dan dibombardir militer zionis Israel, yang menduduki secara tidak sah wilayah Palestina, baik di Tepi Barat maupun Jalur Gaza.

Serangan itu, untuk kesekian kalinya dan dalam situasi pandemi COVID-19 pun, terus dilakukan Israel.

Dampaknya, seperti yang mudah diketahui publik dunia, korban anak-anak dan perempuan, yang memilukan hati nurani, tidak membuat Israel berubah dan terus menduduki wilayah Palestina, plus melakukan pembantaian terhadap pemilik sah wilayah itu.

Alhasil, dunia mereaksinya dengan beragam sikap, namun sebagian besar mengecam dan mengutuk tindakan agresi Israel atas Palestina itu.

Presiden Joko Widodo melalui cuitan Twitternya, pada Sabtu (15/5/2021) menyampaikan bahwa Indonesia mengutuk keras serangan Israel yang telah merenggut ratusan korban jiwa, termasuk perempuan dan anak-anak. Agresi Israel harus dihentikan.

Atas kondisi tersebut, Kepala Negara berkomunikasi dengan pemimpin dunia, di antaranya Presiden Turki, Yang Dipertuan Agong Malaysia, Perdana Menteri Singapura, Presiden Afganistan, Sultan Brunei Darussalam, dan Perdana Menteri Malaysia untuk membahas situasi tersebut.

Pada awal agresi Israel di Palestina pada pertengahan Mei 2021, laporan kantor-kantor berita transnasional menyatakan sekurangnya 140 warga Palestina, termasuk 39 anak-anak, telah tewas di Jalur Gaza dan 950 lainnya terluka.

Sementara di Tepi Barat yang diduduki Israel, 13 warga Palestina tewas akibat serangan tentara Israel.

Komisaris Tinggi PBB untuk HAM Michelle Bachelet, seperti dikutip Reuters, Jumat (28/5) 2021 menyatakan pihaknya telah memverifikasi 270 kematian di Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem, 68 di antaranya anak-anak. Sementara itu roket Hamas ke Israel telah menewaskan 10 warga.

Selain itu, PBB menyatakan lebih kurang 10 ribu warga Palestina telah meninggalkan rumah mereka di Gaza di tengah serangan Israel.
Ketua Presidium MER-C Indonesia, dr Sarbini Abdul Murad (kanan) bertemu dengan Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Zuhair Al-Shun (kiri) pada Kamis (24/6) 2021 di Jakarta untuk menyampaikan rencana membangun poliklinik khusus di depan Rumah Sakit Indonesia (RSI) di Gaza, Palestina. (FOTO ANTARA/HO-Humas MER-C)

Diplomasi kesehatan

Dalam konteks konflik Israel-Palestina, jatuhnya korban luka, khususnya pada anak dan perempuan, membutuhkan penanganan yang sifatnya lebih teknis dan fokus, yakni secepatnya ada bantuan kesehatan, sehingga tidak sekadar diplomasi politik formal dan resmi.

Karena itu, dibutuhkan dengan apa yang dikenal sebagai diplomasi jalur kedua (second track diplomacy) untuk melengkapi diplomasi oleh pemerintah (first track diplomacy), yang bersifat formal dan dengan rujukan konvensi-konvensi internasional.

Diplomasi non-formal itu umumnya dilakukan oleh masyarakat atau organisasi-organisasi nonpemerintah, yang bersifat "people to people".

Salah satu yang selama ini melakukan diplomasi jalur kedua itu adalah organisasi sosial kemanusiaan untuk korban perang, konflik dan bencana alam yang bergerak dalam bidang kegawatdaruratan kesehatan "Medical Emergency Rescue Committee" (MER-C) Indonesia.

Sebagai wujud komitmen jangka panjang untuk membantu Palestina, khususnya guna pengembangan Rumah Sakit Indonesia (RSI) di Gaza, organisasi itu merencanakan pembangunan poliklinik spesialis.

Kegiatan di Palestina itu sebagai program yang berkelanjutan dan terus menerus.

Tanah wakaf untuk pembangunan poliklinik spesialis itu sudah diterima seluas kurang lebih 7.000 meter persegi.

Untuk merealisasikan rencana tersebut, MER-C akan mengirimkan tim kesehatan dan insinyur ke Jalur Gaza guna melakukan penjajakan pembangunan poliklinik spesialis, yang posisinya akan berada di depan bangunan RSI saat ini di Bayt Lahiya, Gaza Utara.

Ketua Presidium MER-C dr Sarbini Abdul Murad telah bertemu dengan Duta Besar Palestina untuk Indonesia Zuhair Al-Shun pada Kamis (24/6) 2021 di Jakarta untuk menyampaikan rencana itu.

Sebelumnya, pada 2019-2020, MER-C telah merampungkan pembangunan tahap 2 RSI, yakni pembangunan 2 lantai tambahan berupa lantai 3 dan lantai 4, dan kini tengah melakukan proses pengadaan alat kesehatan untuk kedua lantai tersebut.

Duta Besar Palestina untuk Indonesia Zuhair Al-Shun menyampaikan apresiasinya terhadap upaya-upaya yang telah dilakukan oleh MER-C Indonesia.

Ia menegaskan dukungannya pada program itu dan akan melakukan yang terbaik untuk dapat memfasilitasi rencana pengiriman tim MER-C ke Jalur Gaza guna terwujudnya rencana tersebut.

Upaya yang dilakukan oleh MER-C Indonesia berupa pembangunan fasilitas kesehatan untuk kemaslahatan warga Palestina menjadi urgen, terlebih setelah serangan Israel terhadap Palestina dan rakyat sipil.
Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi (empat dari kiri) saat menerima delegasi MER-C Indonesia, yang dipimpin Ketua Presidium dr Sarbidi Abdul Murad (tiga dari kiri) saat melaporkan perkembangan pembangunan Rumah Sakit Indonesia (RSI) tahap II di Gaza, Palestina dan RSI di Myanmar pada 2020. (FOTO ANTARA/HO-Humas MER-C)

Prioritas

Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi saat memberikan pemaparan kepada peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 62 Lemhannas, Rabu (28/4) menyebut bahwa diplomasi kesehatan menjadi salah satu prioritas diplomasi Indonesia.

Pernyataan itu menjadi penguat dari yang pernah disampaikan Menlu pada pernyataan pers tahunan awal Januari terkait lima prioritas diplomasi Indonesia Tahun 2021, di mana yang menjadi prioritas pertama adalah soal kesehatan itu.

Prioritas pertama itu, yakni membangun kemandirian dan ketahanan kesehatan nasional (national health security) dengan antara lain pada realisasi komitmen vaksin COVID-19, baik melalui kerja sama bilateral maupun multilateral.

Rinciannya berupa penguatan kerja sama membangun industri kesehatan nasional industri bahan baku obat, farmasi, maupun alat kesehatan.
Selain itu, penguatan kerja sama pengembangan riset dan transfer teknologi dan SDM di bidang kesehatan serta penguatan sistem dan mekanisme kesiapsiagaan menghadapi pandemi yang akan datang, baik di tingkat nasional, kawasan maupun global.

Secara teoritis, dalam http://news.unair.ac.id/2020/12/07/masalah-diplomasi-kesehatan-era-pandemi/ disebutkan bahwa diplomasi kesehatan (health diplomacy) merupakan suatu pendekatan komprehensif.

Pendekatan komprehensif itu melibatkan unsur-unsur ekonomi, bisnis, sains dan strategis.

Upaya diplomasi kesehatan berbeda dengan metode negosiasi antarpemerintah secara umum, khususnya karena kepentingan yang diperjuangkan lebih bersifat non-politis, yakni di sektor kesehatan publik.

Tetapi, selalu ada koneksi timbal balik antara birokrasi pelaksana diplomasi di bidang kesehatan dengan aparat struktural Kementerian Luar Negeri yang mengimpementasikan hubungan internasional secara tradisional.

Di saat pandemi COVID-19 dan pendudukan Israel atas tanah dan wilayah Palestina masih menjadi isu global, urgensi diplomasi kesehatan untuk membantu sesama sebagai diplomasi jalur kedua menjadikan first track diplomacy mendapatkan keparipurnaan.

Pewarta: Andi Jauhary
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021