Lembaga Destructive Fishing Watch (DFW) menyebut selama periode November 2019-Maret 2021, ada sebanyak 35 warga negara Indonesia yang meninggal saat menjadi awak kapal perikanan migran di kapal ikan luar negeri.Keberadaan UU No 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia belum efektif memberikan perlindungan bagi awak kapal perikanan
"Dari hasil investigasi kami bahwa dalam periode November 2019-Maret 2021 terdapat 35 orang awak kapal perikanan Indonesia migran yang meninggal di kapal ikan asing," kata Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan di Jakarta, Senin.
Menurut dia, awak kapal tersebut meninggal karena berbagai sebab seperti sakit, mengalami tindak kekerasan berupa pemukulan dan penyiksaan, pembunuhan dan karena kondisi kerja, dan makanan dan minuman yang tidak layak selama melakukan operasi penangkapan ikan.
Untuk itu, ujar dia, Pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah konkret untuk meningkatkan perlindungan kepada awak kapal perikanan migran Indonesia yang bekerja di kapal ikan luar negeri.
"Keberadaan UU No 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia belum efektif memberikan perlindungan bagi awak kapal perikanan. Pemerintah pusat belum terlalu melibatkan pemerintah provinsi, kabupaten/kota dan desa dalam perlindungan awak kapal migran," ucapnya.
Abdi mengatakan bahwa dari 35 orang tersebut, mayoritas mereka bekerja di kapal ikan Tiongkok, atau tepatnya sebanyak 82 persen bekerja di kapal ikan Tiongkok, 14 persen kapal ikan Taiwan dan sisanya negara lain seperti Vanuatu.
Abdi menambahkan para korban meninggal tersebut diberangkatkan oleh 16 perusahaan perekrut dan penempatan, serta mayoritas awak kapal perikanan yang meninggal tersebut berangkat melalui jalur yang tidak resmi.
Sementara itu, peneliti DFW Indonesia Muh Arifuddin meminta Presiden Jokowi untuk turun tangan membenahi carut marut sistem perekrutan dan penempatan awak kapal perikanan dengan segera mengakhiri dualisme aturan yang ada saat ini.
Hal tersebut, lanjutnya, karena ada konflik regulasi yang saling tumpang tindih antara UU Pelayaran, UU Perseroan Terbatas, dan UU Perlindungan Pekerja Migran yang menyebabkan perekrutan dan pengiriman menjadi multidoors (banyak pintu) dan kerumitan dalam proses pengawasannya.
Dia mendesak untuk segera dikeluarkannya peraturan pemerintah turunan UU 18/2017 agar perekrutan dan pengiriman bisa terfokus pada satu pintu.
Sebelumnya, laporan terbaru Greenpeace Asia Tenggara bekerja sama dengan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat penahanan upah hingga tindakan kekerasan di tempat kerja menjadi masalah utama yang dihadapi para anak buah kapal (ABK) Indonesia di kapal ikan asing.
Laporan bertajuk "Perbudakan di Laut: Kasus ABK Indonesia di Kapal Asing" (Forced Labour at Sea: The Case of Indonesian Migrant Fishers) itu menyoroti komplain yang dilaporkan ABK Indonesia kepada SBMI dalam periode Mei 2019 hingga Juni 2020 (13 bulan) untuk mengungkap pola dan jenis kerja paksa yang masih terjadi di kapal penangkap ikan jarak jauh.
"Melalui pemeriksaan dokumen, wawancara dengan ABK, serta pencocokan dengan pemberitaan di media massa, Greenpeace Asia Tenggara mengidentifikasi indikator kerja paksa yang paling banyak dilakukan, di antaranya penahanan upah (87 persen), lingkungan kerja dan hidup yang penuh kekerasan (82 persen), penipuan (80 persen) dan penyalahgunaan kerentanan (67 persen)," kata Koordinator Riset Regional Greenpeace Asia Tenggara Ephraim Batungbacai dalam jumpa pers virtual, Senin (31/5/2021).
Ephraim menuturkan pihaknya melakukan pemeriksaan terhadap komplain dari 62 ABK Indonesia dan ditemukan bahwa sebanyak 20 perusahaan agen tenaga kerja Indonesia dan 26 perusahaan perikanan dari China, Hong Kong, Taiwan, Cote d’Ivoire, dan Nauru diduga melakukan praktik kerja paksa terhadap anak buah kapal (ABK) Indonesia.
Baca juga: Menlu Retno minta Korea Selatan lindungi ABK Indonesia
Baca juga: Kemlu RI upayakan pemulangan ABK WNI usai terima laporan penelantaran
Baca juga: DFW: Tiga WNI awak kapal ikan terlantar di Somalia
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021