• Beranda
  • Berita
  • INDEF : Penerimaan pajak loyo jauh sebelum pandemi

INDEF : Penerimaan pajak loyo jauh sebelum pandemi

28 Juni 2021 16:02 WIB
INDEF : Penerimaan pajak loyo jauh sebelum pandemi
Petugas pajak melayani warga yang mengikuti program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) di Kantor Direktorat Jendral Pajak, Jakarta, ANTARA FOTO/Atika Fauziyyah/pd. (ANTARA FOTO/ATIKA FAUZIYYAH)

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengatakan penerimaan pajak sudah loyo jauh sebelum pandemi dengan pertumbuhan rata-rata 2,9 persen per tahun.

“Kondisi kesehatan APBN kita sudah sangat tidak baik sebelum Pandemi. Jadi jangan menjadikan Pandemi ini sebagai kambing hitam terhadap ambruknya atau menurunnya kinerja APBN kita,” kata Kepala Food Center Sustainable Food Development INDEF Abra Talattov dalam diskusi daring, Senin.

Bahkan, lanjut Abra, pertumbuhan perpajakan tahun 2019 hanya tumbuh 1,8 persen. Buruknya kinerja perpajakan juga tercermin dari rasio perpajakan yang terus turun dalam lima tahun terakhir. Tax rasio 2029 sebesar 9,6 persen dan berlanjut turun pada 2020 dengan 8,3 persen. Begitu juga dengan dan tax buoyancy yang selalu di bawah 1.

“Artinya kita satu persen pertumbuhan ekonomi di tahun 2019 menciptakan 0,27 persen penerimaan pajak. Artinya masih belum optimal penerimaan pajak kita,” ujar Abra.

Selain itu, ia mengatakan bahwa APBN sudah dimasuki “parasit” melalaui bunga utang. Ia menyebut, secara nominal nilai bunga utang terus membengkak dan secara proporsi terhadap penerimaan perpajakan pembayaran bunga utang Indonesia terus menanjak.

Baca juga: Menkeu: Realisasi pungutan pajak digital Rp2,25 triliun per Juni 2021

Ia mencatat pada 2014 beban bunga utang terhadap penerimaan perpajakan baru 11 persen, kemudian bertambah menjadi 17,24 persen pada 2020.

“Jumlah ini berpotensi terus meningkat karena kebutuhan pembiayaan hutang kita semakin besar kemudian bunga utang masih tinggi dibandingkan negara negara lain dan ini juga pada gilirannya akan meningkatkan beban bunga utang kita,” tutur Abra.

Hal tersebut berdampak pada alokasi belanja negara ke pos-pos lain seperti belanja modal, belanja subsidi, dan bantuan sosial.

“Yang paling ketara adalah belanja subsidi terhadap penerimaan pajak yang di 2014 porsinya 34 persen kemudian trendnya menurun dan menjadi 15,27 persen pada 2020 dan ini pun sebenarnya karena ada pandemi ditambah,” ungkapnya.

Lebih lanjut Abra mengatakan bahwa alih-alih memungut PPN sembako untuk menggenjot penerimaan pajak, ia menyarankan pemerintah untuk melakukan reformasi penerimaan pajak. Karena rasio kepatuhan wajib pajak per April 2021 baru 64,5 persen dan rasio kepatuhan wajib pajak badan hanya 51,5 persen. Termasuk juga mengoptimalkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) serta menagih kontribusi BUMN terhadap PNBP.

Baca juga: Sri Mulyani: Laporan WP Badan alami rugi meningkat

“Optimalisasi pajak masih bisa dilakukan dengan menjawab berbagai potensi penerimaan pajak dari permasalahan mendasar perpajakan,” tuturnya.

Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2021