"Kita memiliki potensi blue carbon (karbon biru) yang sangat besar, ini yang belum dioptimalkan dari apa yang kita punya baik dari mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan lain sebagainya," kata Nani dalam acara diskusi virtual yang dipantau dari Jakarta pada Senin.
"Karbon biru" digunakan untuk menyebut karbon yang diserap oleh ekosistem pesisir dan laut. Rumput laut, bakau, dan rawa-rawa di sepanjang pantai menangkap dan menyimpan karbon, bertindak sebagai penyerap karbon. Ekosistem pantai ini memiliki kemampuan menyerap karbon lebih cepat ketimbang hutan.
Nani mengatakan bahwa kemampuan ekosistem pesisir dan laut dalam menyerap dan menyimpan karbon perlu dioptimalkan pemanfaatannya dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
Oleh karena itu, dalam pembaruan rancangan target Nationally Determined Contribution (NDC) pemerintah memasukkan pemanfaatan "karbon biru" dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca selain pengelolaan hutan, gambut, energi, dan transportasi.
Indonesia mematok target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030.
Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Sarwono Kusumaatmadja menekankan pentingnya fungsi hutan, gambut, dan mangrove dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca.
Ia mengemukakan bahwa semua pihak harus melihat pemanfaatan lahan seperti gambut dengan perspektif yang berbeda dari di masa lalu karena keberadaan lahan itu penting untuk mitigasi perubahan iklim.
"Untuk itu pemerintah juga memperkuat keberadaan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove untuk kemudian memaksimalkan apa yang kita punya di situ dan meninggalkan praktik lama," kata Sarwono.
Baca juga:
Kemenko Kemaritiman: Indonesia berpotensi kembangkan karbon biru
Dalam UNFCCC, Indonesia usung karbon biru untuk kurangi emisi
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2021