• Beranda
  • Berita
  • Menkeu sesuaikan tarif pungutan ekspor produk kelapa sawit

Menkeu sesuaikan tarif pungutan ekspor produk kelapa sawit

29 Juni 2021 18:43 WIB
Menkeu sesuaikan tarif pungutan ekspor produk kelapa sawit
Pekerja memuat minyak kelapa sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) ke dalam kapal tanker di Pelabuhan Dumai, Dumai, Riau, Rabu (3/2/2021). ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid/rwa.

Apabila harga CPO di atas 1.000 dolar AS maka tarif tetap sesuai tarif tertinggi masing-masing produk

Pemerintah menyesuaikan tarif pungutan ekspor produk kelapa sawit sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 76/PMK.05/2021 tentang Perubahan Kedua Atas PMK Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Berdasarkan keterangan resmi dari Kementerian Keuangan yang diterima di Jakarta, Selasa, penyesuaian tarif pungutan ekspor tersebut merupakan tindak lanjut keputusan Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Besaran tarif pungutan ekspor produk kelapa sawit termasuk Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya ditetapkan berdasarkan harga referensi Kementerian Perdagangan.

Untuk cut off perhitungan pungutan tarif itu adalah tanggal penerbitan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) sehingga pengenaan tarif baru ini mulai berlaku tujuh hari setelah diundangkan pada 25 Juni 2021 yakni mulai 2 Juli 2021.

Sesuai PMK Nomor 76/PMK.05/2021, batas pengenaan tarif progresif berubah yang semula pada harga CPO 670 dolar AS per MT dolar menjadi 750 dolar AS per MT.

Direktur Utama BPDPKS Eddy Aburrachman menjelaskan jika harga CPO di bawah atau sama dengan 750 dolar AS per MT maka tarif pungutan ekspor tetap.

Ia mencontohkan untuk tarif produk crude sebesar 55 dolar AS per MT dan setiap kenaikan harga CPO sebesar 50 dolar AS per MT maka tarif pungutan ekspor naik sebesar 20 dolar AS per MT untuk produk crude dan 16 dolar AS per MT untuk produk turunan sampai harga CPO mencapai 1.000 dolar AS.

“Apabila harga CPO di atas 1.000 dolar AS maka tarif tetap sesuai tarif tertinggi masing-masing produk,” katanya.

Dasar pertimbangan penyesuaian tarif layanan pungutan ekspor adalah untuk meningkatkan daya saing produk kelapa sawit Indonesia di pasar internasional.

Meski demikian, hal ini dilakukan dengan tetap memperhatikan kesejahteraan petani kelapa sawit dan keberlanjutan pengembangan layanan pada program pembangunan industri sawit nasional.

Untuk peningkatan daya saing produk kelapa sawit Indonesia maka kewajiban eksportir produk kelapa sawit yaitu pungutan ekspor dan bea keluar secara advalorem yang saat ini mencapai maksimal 36,4 persen maksimal dari harga CPO.

Dengan perubahan tarif sesuai PMK Nomor 76/PMK.05/2021 maka kewajiban eksportir secara advolerum turun menjadi maksimal di bawah 30 persen dari harga CPO sehingga diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk kelapa sawit di pasar internasional.

Untuk peningkatan kesejahteraan petani, penerapan pungutan ekspor pada 2020 dan 2021 terbukti tidak menyebabkan penurunan harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani.

Harga TBS di tingkat petani mengikuti kenaikan harga CPO yaitu pada Januari sampai Mei 2021 rata-rata harga TBS di tingkat petani adalah di atas Rp2.000 per kilogram.

Selain itu, Pemerintah tetap berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui peningkatan produksi perkebunan kelapa sawit rakyat dengan mengalokasikan dana peremajaan perkebunan kelapa sawit untuk 180 ribu hektar lahan per tahun.

“Alokasi dana untuk tiap hektar lahan yang ditetapkan sebesar Rp30 juta per hektar,” ujarnya.

Baca juga: Petani minta dana pungutan BPDPKS dialokasikan jadi bantuan tunai
Baca juga: BPDPKS salurkan Rp33,6 triliun untuk biodiesel dan peremajaan sawit
Baca juga: Kebijakan pungutan ekspor CPO diminta dicabut

Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2021