"Itu merupakan wujud rasa cinta dan nasionalisme warga negara yang di dalamnya terkandung nilai-nilai kearifan lokal yang perlu dilindungi oleh Negara," kata Dr Jawade Hafidz menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Rabu.
Ia menyatakan hal itu terkait dengan pemidanaan terhadap setiap orang yang memakai bendera negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan bendera negara, sebagaimana diatur dalam RUU KUHP Pasal 235 Huruf d, dengan ancaman pidana denda paling banyak Rp10 juta.
Menurut dosen Fakultas Hukum Unissula Semarang ini, ketentuan itu tidak perlu diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karena terlalu teknis dan pembuktiannya sangat interpretatif.
Baca juga: Pakar: Mengibarkan bendera kusam tak perlu diatur dalam RUU KUHP
Baca juga: Eva: Pasal penodaan bendera negara jangan sumbat nasionalisme seniman
Baca juga: Tidak usah terburu-buru bahas RUU KUHP tetapi target harus jelas
Jawade lantas mengingatkan akan adagium yang mengatakan bahwa lebih baik membebaskan 1.000 orang bersalah daripada menghukum satu orang yang belum tentu bersalah.
Terkait dengan penodaan bendera negara yang termaktub dalam pasal 231 dan 234 RUU KUHP, dia memandang perlu mengkaji kembali dengan memperhatikan latar belakang, maksud, dan tujuan perbuatan dimaksud serta dipertegas kualifikasi subjek hukum yang akan dikenai sanksi.
Sementara itu, Ketua Prodi Doktor Hukum Universitas Borobudur (Unbor) Jakarta Prof Dr H Faisal Santiago sependapat dengan Jawade Hafidz bahwa penggunaan bendera Merah Putih pada saat mendirikan rumah merupakan kearifan lokal (local wisdom).
"Tergantung pada niat setiap orang dalam memperlakukan bendera Merah Putih," kata Guru Besar Hukum Unbor ini ketika menjawab pertanyaan yang sama terkait dengan pasal-pasal penodaan terhadap bendera negara dalam RUU KUHP.
Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021