Salah satunya adalah dosis penuh vaksin Sinovac yang dilaporkan Kementerian Kesehatan telah disuntikkan hampir mencapai 100 persen kepada target sasaran tenaga kesehatan di Indonesia.
Dosis pertama sudah disuntikkan kepada 1.494.576 orang dari target 1.468.764 dan dosis kedua sudah disuntikkan ke 1.357.394 orang tenaga kesehatan.
Tetapi bangsa ini juga dihadapkan dengan kenyataan bahwa tenaga kesehatan di sebagian daerah di Indonesia terinfeksi bahkan wafat akibat COVID-19 meskipun telah menerima dosis lengkap Sinovac.
Data yang dihimpun oleh Tim Mitigasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dari organisasi profesi kedokteran menyebutkan sudah 949 tenaga kesehatan yang wafat akibat COVID-19. Mereka terdiri atas 401 dokter umum dan spesialis, 43 dokter gigi, 315 perawat, 150 bidan, 15 apoteker, dan 25 tenaga laboratorium medik.
Laporan itu disampaikan Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia, Ikatan Bidan Indonesia, Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Ikatan Apoteker Indonesia, Persatuan Ahli Teknologi Laboratorium Medik Indonesia sejak Maret 2020 hingga 26 Juni 2021.
"Ada juga yang sedang proses isolasi dan perawatan intensif sebanyak 503 orang di Jawa Tengah, 231 dirawat di Yogyakarta dan 163 orang di Surabaya," kata Ketua Tim Mitigasi Dokter PB IDI, Adib Khumaidi.
Pertanyaannya, apakah klaim efektivitas vaksin COVID-19 Sinovac masih relevan memberikan perlindungan kepada penerima manfaat jika melihat perkembangan varian SARS-CoV-2 yang saat ini bermunculan di Indonesia dan menyerang tenaga kesehatan?
Hasil kajian cepat Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan pada 13 Januari sampai 18 Maret 2021 melaporkan dosis lengkap Sinovac pada tenaga kesehatan menurunkan risiko gejala parah hingga 94 persen, 96 persen risiko perawatan, dan 98 persen mencegah kematian.
Kajian tersebut melibatkan lebih dari 128 ribu tenaga kesehatan dengan usia di atas 18 tahun dan rata-rata diikuti 60 persen perempuan dengan rata-rata berusia 30 tahun.
Bahkan produsen vaksin asal China, Sinovac melalui Global Times menyatakan vaksin buatannya tetap efektif untuk mengurangi gejala pasien yang terserang COVID-19 varian Delta di Indonesia.
"Vaksin ini memang tidak 100 persen memberikan perlindungan, melainkan bisa mengurangi gejala infeksi dan efektif mencegah kematian," demikian pernyataan produsen Sinovac.
Baca juga: Vaksinasi hampir separuh penduduk, China kembangkan dosis ketiga
Kemanjuran vaksin
Profesor Kedokteran dari Mayo Clinic di Amerika Serikat, Vincent Rajkumar, mengungkap sedikitnya ada empat alasan mengapa vaksin yang diklaim sangat baik terkadang tampak tidak berfungsi optimal.
Menurut Vincent, kemanjuran vaksin tidak ada yang mencapai fase 100 persen. "Ingatlah bahwa vaksin COVID terbaik hanya berkisar 95 persen efektif melawan infeksi. Beberapa hanya 70 hingga 80 persen efektif, yang berarti dengan sejumlah besar infeksi, anda akan melihat beberapa orang yang vaksinnya tidak bekerja," katanya melalui cuitan di akun @VincentRK.
Dalam keterangannya, Vincent menyebut bahwa beberapa orang mungkin tidak memiliki respons antibodi penetralisasi yang memadai terhadap vaksin, misalnya pasien kemoterapi kanker atau pengguna obat imunosupresif untuk kondisi autoimun, memiliki kondisi imunosupresif atau beberapa orang lansia dengan komorbid tertentu.
Paparan virus dalam dosis tinggi juga sangat berisiko mempengaruhi sistem kekebalan tubuh para penerima vaksin. Misalnya, paparan tanpa masker yang terus-menerus di dalam ruangan tanpa ventilasi yang cukup, atau pada petugas kesehatan yang sedang dalam kondisi penurunan kekebalan tubuh di saat melayani pasien di rumah sakit.
Wakil Ketua Umum PB IDI, Slamet Budiarto,
mengatakan kenyataan bahwa tenaga kesehatan terpapar COVID-19 juga mungkin terjadi akibat jumlah virus COVID-19 di rumah sakit jauh lebih banyak.
Kondisi psikologis tenaga kesehatan, kata Slamet, juga menjadi faktor penting dalam mempertahankan imunitas dan efikasi vaksin mereka saat bekerja.
Tim Mitigasi PB IDI bahkan mengkhawatirkan risiko runtuhnya sistem kesehatan di sejumlah daerah akibat tekanan psikologis tenaga medis yang kian memprihatinkan akibat lonjakan pasien COVID-19 dalam beberapa pekan terakhir.
Setidaknya lebih dari 24 kabupaten/kota di Indonesia melaporkan keterisian ruang isolasi pasien sudah di atas angka 90 persen. Laporan di lapangan menunjukkan, terjadi penumpukan pasien dan antrean panjang di sejumlah rumah sakit terutama di kota-kota besar.
Kesimpulan efikasi vaksin dengan peristiwa tenaga kesehatan yang terpapar COVID-19 setidaknya memerlukan data secara metodologi penelitian yang sahih dan dikaji dengan kaidah ilmiah.
"Untuk efektivitas vaksin maka dikumpulkan saja datanya. Hasil analisa ilmiah inilah yang kemudian dijadikan dasar pendapat untuk pengambilan kebijakan," kata Guru Besar Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Tjandra Yoga Aditama.
Baca juga: Produsen vaksin kaji dosis ketiga untuk lawan varian baru
Dosis ketiga
Sebelumnya, sejumlah produsen vaksin di dunia dikabarkan telah merampungkan kajian untuk kemungkinan pemberian vaksin dosis ketiga sebagai upaya meningkatkan lagi efektifitas kerja vaksin buatan mereka.
Tjandra Yoga Aditama yang mewakili Asia sebagai Anggota Independent Allocation Vaccine Group (IAVG) itu mengemukakan kajian itu dilakukan oleh produsen Pfizer-BioNTech, Moderna, dan Sinopharm sejak Februari 2021.
Ada tiga strategi pendekatan dalam kajian dosis ketiga. Pertama, menggunakan vaksin yang lama tetapi dengan dosis yang lebih rendah, kedua menggunakan vaksin yang sudah dimodifikasi, dan ketiga memberikan kombinasi vaksin lama dengan vaksin yang sudah dimodifikasi.
Sejak kemunculan Varian of Concern (VOC) seperti varian Delta (B1617.2) dari India, Pemerintah Amerika Serikat, Uni Emirat Arab (UEA) dan Prancis berinisiatif melakukan penyuntikan vaksin dosis ketiga kepada penduduk mereka demi meningkatkan kekebalan tubuh.
Namun, Tjandra memastikan bahwa pemberian vaksin dosis ketiga itu belum didukung oleh keputusan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). "Sampai saat ini belum ada hasil penelitian ilmiah yang sahih tentang bagaimana sebaiknya dosis ketiga ini dilakukan," kata Tjandra.
Saat ini Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sedang mendorong pemberian vaksin dosis ketiga bagi tenaga kesehatan, baik dokter maupun perawat sebagai booster untuk memperkuat pertahanan tubuh dari COVID-19.
Namun, Slamet Budiarto menyarankan agar vaksinasi dosis ketiga hanya diberikan kepada kelompok tenaga kesehatan, sementara untuk masyarakat masih cukup dua dosis.
Merespons dorongan itu, Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyampaikan bahwa fokus pemerintah saat ini masih pada upaya percepatan vaksinasi dosis kedua di masyarakat.
Alasannya, hingga Selasa (29/6), baru sekitar 13,3 juta jiwa lebih penduduk Indonesia yang telah menerima dosis kedua vaksin dari target sasaran 40,3 juta jiwa lebih penduduk.
Tentunya, semakin besar populasi masyarakat yang terlindungi oleh dua dosis vaksin akan semakin mempersempit ruang bagi SARS-CoV-2 untuk bersarang dan bermutasi.
Tepat kiranya seruan pemerintah agar masyarakat turut berkontribusi menekan laju penularan pada gelombang kedua pandemi yang saat ini sedang memuncak di Indonesia dengan taat pada protokol kesehatan.
Pemberian vaksin dosis ketiga berdasarkan uji klinis yang memadai dari berbagai otoritas terkait juga bisa menjadi alternatif manakala kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan masih dirasa kurang sehingga justru memperberat beban pelayanan di rumah sakit.*
Baca juga: Bio Farma terima 10 juta bahan baku vaksin COVID-19 gelombang ketiga
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021