Lembaga tersebut merilis data yang menunjukkan bahwa varian Delta hingga 22 Juni menyumbang sekitar 22,7 persen kasus COVID-19.
Berdasarkan survei serupa sebelumnya mulai 18 Mei, varian Delta hanya mewakili satu persen kasus. Sebaliknya, varian Alpha menyumbang 57,8 persen kasus hingga 22 Juni dibanding 88,1 persen dari periode sebelumnya.
"Di Italia, di mana kampanye vaksinasi belum mencapai jangkauan yang memadai, penyebaran varian yang lebih menular mungkin memiliki dampak yang signifikan," katanya.
Varian Delta, yang mulanya muncul di India pada Desember 2020, sudah menyebar ke sekitar 100 negara.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) baru-baru ini memperingatkan bahwa varian Delta tidak lama lagi dapat menjadi varian dominan.
ISS mengatakan survei mereka tidak mencakup kasus semua varian, tetapi hanya yang terdeteksi hari itu. Pihaknya menambahkan bahwa varian Kappa tidak ditemukan pada hari itu meski sejumlah kasus disinyalir pada lain waktu.
Data itu juga menuliskan bahwa lonjakan varian Gamma, yang pertama kali ditemukan di Brazil, naik dari 7,3 persen menjadi 11,8 persen dalam survei sebelumnya.
Italia mencatat 127.587 kematian COVID-19 sejak pandemi muncul Februari tahun lalu, menjadikannya yang tertinggi kedua di Eropa --setelah Inggris-- dan tertinggi kedelapan di dunia. Sementara, total kasus COVID di Italia mencapai 4,26 juta.
Studi yang dirilis di Inggris pada Juni memperlihatkan varian Delta meningkatkan dua kali lipat risiko rawat inap, namun bahwa dua dosis vaksin memberikan perlindungan yang kuat.
Sekitar 32,2 persen warga Italia telah menerima dosis lengkap vaksin, sementara 25,6 persen masih menunggu dosis kedua.
Sumber: Reuters
Baca juga: Italia laporkan 21 kematian akibat COVID dan 882 kasus baru
Baca juga: Kemiskinan ekstrem di Italia melonjak karena COVID
Pembatasan mobilitas jadi cara utama lawan varian Delta
Pewarta: Asri Mayang Sari
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2021