"Kami telah mendapatkan komitmen dari Kementerian Perindustrian agar konversi gas industri ke oksigen medis diberikan sampai dengan 90 persen," kata Nadia dalam konferensi pers Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, di Jakarta, Jumat.
Kapasitas produksi oksigen di Indonesia mencapai 866.000 ton per tahun dengan utilisasi produksi per tahunnya 638.900 ribu, di mana 75 persen digunakan untuk industri dan hanya 25 persen yang dipakai medis.
Baca juga: Pemenuhan oksigen dimaksimalkan ke tujuh provinsi Jawa dan Bali
Melalui konversi gas industri ke oksigen medis, Nadia mengatakan maka jumlah oksigen yang bisa didapatkan untuk memenuhi kebutuhan nasional mencapai 575.000 ton.
Untuk saat ini, kapasitas oksigen yang ada akan dimaksimalkan di tujuh provinsi di Jawa-Bali karena meningkatnya kasus COVID-19 sebanyak 6-8 kali lipat.
Berdasarkan data Kemkes, saat ini total kebutuhan oksigen untuk perawatan intensif dan isolasi pasien COVID-19 mencapai 1.928 ton/hari, sementara kapasitas yang tersedia ada 2.262 ton/hari.
Dengan demikian, ditargetkan untuk wilayah Jawa-Bali bisa menyuplai oksigen sebanyak 2.262 ton/hari.
Nadia menuturkan kebutuhan oksigen medis melonjak seiring naiknya kasus COVID-19.
Menurut dia, kelangkaan stok oksigen di beberapa daerah lebih disebabkan rantai distribusi yang belum optimal.
Strategi pemerintah mengatasi masalah tersebut adalah menambah pasokan oksigen serta mengupayakan agar penyaluran ke daerah-daerah yang kasusnya tinggi lebih dipercepat.
Selain memenuhi kebutuhan oksigen melalui industri dalam negeri, Nadia menuturkan pemerintah menerima bantuan dari pemerintah Singapura, Australia, dan China yang terdiri dari sarana dan prasarana kesehatan diantaranya ventilator, tabung oksigen kosong, dan oksigen konsentrator.
Baca juga: Menperin apresiasi donasi oksigen medis industri pulp dan kertas
Pemerintah Indonesia juga menjamin ketersediaan obat terapi COVID-19 dan terus berkoordinasi dengan industri farmasi untuk meningkatkan kapasitas produksinya.
Kementerian Kesehatan juga berkoordinasi rutin dengan industri farmasi dan jejaring distribusinya untuk memonitor ketersediaan obat yang diperlukan
untuk penanganan COVID-19 sesuai dengan pedoman tatalaksana COVID-19 yang saat ini menggunakan edisi ke-3 yang diterbitkan pada Desember 2020.
"Dalam hal terjadi hambatan suplai impor dari luar negeri, Kementerian Kesehatan berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dan kementerian terkait untuk membantu penyelesaian hambatan suplai tersebut," tuturnya.
Nadia juga menuturkan ketersediaan obat terkait COVID-19 di industri farmasi dan pedagang besar per 9 Juli 2021 yakni 3,2 juta Favipiravir, 11 ribu Remdesivir
injeksi, 157 ribu Oseltamivir, 2,4 juta Azitromisin oral, 163 ribu Azitromisin infus, 543 Tocilizumab infus, 7 ribu Intravenous Immunoglobulin, dan 237 ribu Ivermectin.
Menurut dia, ketersediaan obat-obatan untuk COVID-19 terus-menerus ditingkatkan dan ditambah produksinya untuk memastikan ketersediaannya di lapangan.
Mengenai kenaikan harga obat, Kementerian Kesehatan sudah mengkaji kondisi di lapangan dan telah menerbitkan SK Menkes Nomor HK.07.07/Menkes/4826/2021 untuk mengatur Harga Eceran Tertinggi (HET) obat dalam masa pandemi COVID-19.
"Marilah kita bersama saling berkolaborasi dan saling mendukung. Masyarakat juga jangan panik dengan melakukan pembelian secara berlebihan baik obat maupun sarana prasarana lainnya demi menjaga keseimbangan dan ketersediaan obat terutama bagi yang membutuhkan,” ujarnya.
Baca juga: Kemenperin datangkan oxygen concentrator untuk pasien COVID-19
Baca juga: Kemenperin amankan produksi dan distribusi oksigen untuk medis
Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2021