"Hari ini kita sedang dalam wabah, ada dampak yang dirasakan langsung masyarakat. Maka, ibadah kurban harus didedikasikan untuk menjawab masalah sosial ekonomi masyarakat," kata Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh dalam siniar yang dipantau dari Jakarta, Rabu.
Baca juga: MUI imbau masyarakat agar patuhi larangan Shalat Idul Adha di masjid
Asrorun menjelaskan ada dua dimensi dalam ibadah kurban, pertama ketundukan dan ketaatan kepada Allah SWT. Kedua, ibadah yang bersifat kemaslahatan bagi banyak orang.
Di masa pandemi COVID-19 ini, seluruh umat Islam diminta untuk turut membantu sesama terutama kepada mereka yang terkena langsung dampaknya, baik secara ekonomi, sosial, maupun kesehatan. Dengan begitu, kurban telah mengisi ruang kemaslahatan.
"Pelaksanaannya untuk tujuan kemanusiaan, maka harus dipastikan menjawab masalah kontemporer untuk mengoptimalkan kemaslahatan dalam aktivitas ibadah kurban ini," katanya.
Atas dasar itu, Asrorun mengajak pelaksanaan ibadah kurban dimanfaatkan untuk mengurangi beban masyarakat. Ia juga merekomendasikan daging kurban tidak hanya dalam bentuk mentah saja, tetapi bisa diolah dan dikemas dalam bentuk lain.
"MUI, selain mengatur pelaksanaan aktivitas ibadah kurbannya, juga menetapkan fatwa kebolehan pemanfaatan daging kurban dengan cara dikalengkan, seperti dibuat kornet, rendang agar nilai ibadah penyembelihan kurban optimal bagi masyarakat," katanya.
Ia juga menekankan agar pelaksanaan kurban harus menaati aturan dan panduan seperti yang telah diterbitkan MUI maupun Kementerian Agama. Bagi mereka yang berada di zona risiko penularan tinggi, keselamatan menjadi yang utama.
Baca juga: MUI minta pemerintah penuhi kebutuhan dasar saat PPKM Darurat
Baca juga: MUI saran daging kurban diolah lalu dibagi ke warga terdampak pandemi
"Jangan sampai karena ingin taat kepada Allah SWT dengan menjalankan secara sempurna, tetapi tidak memperhatikan aspek keselamatan diri dan orang lain. Jadi perlu ada keberimbangan," kata dia.
Ia juga mengingatkan pentingnya memahami arti Jalbu al-Mashalih. Artinya, setiap umat harus meraih kemaslahatan dan menolak kerusakan.
"Jangan sampai ingin takbiran, ingin syiar, kemudian dilakukan secara sembrono tidak menjaga protokol kesehatan yang akhirnya bisa terpapar COVID-19. Ini tidak diperkenankan," kata dia.
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021