Asia tergelincir dalam perlombaan senjata berbahaya ketika negara-negara kecil di kawasan itu membangun armada rudal jarak jauh yang canggih, mengikuti jejak kekuatan China dan AS, kata sejumlah analis.Percaturan rudal sedang berubah di Asia, dan berubah cepat
China tengah memproduksi massal DF-26, senjata multifungsi dengan jangkauan hingga 4.000 kilometer, sementara AS sedang mengembangkan senjata baru untuk mengimbangi Beijing di Pasifik.
Negara-negara lain di kawasan itu sedang membeli atau mengembangkan rudal baru mereka sendiri, dipicu oleh kekhawatiran terhadap China dan keinginan untuk mengurangi ketergantungan pada AS.
Sebelum dekade ini berakhir, Asia akan dipenuhi rudal-rudal konvensional yang dapat meluncur lebih jauh, lebih cepat, lebih merusak, dan lebih canggih daripada sebelumnya --sebuah perubahan drastis dan berbahaya dalam beberapa tahun terakhir, kata sejumlah analis, diplomat, dan pejabat militer.
Baca juga: Menhan Indonesia-Malaysia Tak Bahas Penurunan Lomba Senjata
"Percaturan rudal sedang berubah di Asia, dan berubah cepat," kata David Santoro, presiden Pacific Forum.
Rudal-rudal semacam itu semakin terjangkau dan akurat, dan ketika sejumlah negara memilikinya, tetangga mereka tidak mau ketinggalan, kata para analis.
Rudal memberikan keuntungan strategis seperti menghalau musuh, meningkatkan pengaruh di antara para sekutu, dan bisa menjadi komoditi ekspor yang menguntungkan.
Implikasi jangka panjangnya belum jelas dan peluangnya tipis jika persenjataan baru itu bisa menyeimbangkan ketegangan dan membantu menjaga perdamaian, kata Santoro.
"Yang lebih mungkin, proliferasi rudal menambah kecurigaan, memicu perlombaan senjata, meningkatkan ketegangan, dan menjadi penyebab utama krisis dan bahkan perang," tambahnya.
Baca juga: Rusia Siap Bertindak Jika Berbagai Senjata Digelar di Antariksa
Rudal Buatan Sendiri
Menurut dokumen pengarahan militer 2021 yang tidak dipublikasikan dan ditinjau oleh Reuters, Komando Indo-Pacific AS (INDOPACOM) berencana menempatkan senjata jarak jauh baru ke Rantai Pulau Pertama yang mencakup Jepang, Taiwan, dan pulau-pulau di Pasifik yang mengelilingi pesisir timur China dan Rusia.
Senjata baru itu mencakup Long-range Hypersonic Weapon (LRHW), sejenis rudal dengan hulu ledak bermanuver tinggi dengan kecepatan lebih dari lima kali kecepatan suara untuk menyasar target sejauh 2.775 kilometer lebih.
Juru bicara INDOPACOM mengatakan pada Reuters bahwa belum ada keputusan ke mana rudal baru itu akan ditempatkan. Sejauh ini, kebanyakan sekutu AS di kawasan itu masih ragu untuk berkomitmen menjadi tempat peluncuran rudal. Jika ditempatkan di Guam, teritori milik AS di Pasifik, LRHW tak mampu menjangkau daratan China.
Jepang, rumah bagi lebih dari 54.000 pasukan AS, bisa menjadi tempat peluncur di kepulauan Okinawa, namun AS kemungkinan akan menarik pasukan lainnya, kata seorang sumber yang paham dengan pemikiran pemerintah Jepang dan menolak namanya disebut karena sensitifnya isu tersebut.
Mengizinkan rudal AS yang akan dikendalikan oleh militer mereka bakal memicu kemarahan China, kata sejumlah analis.
Baca juga: AS: Pengembangan gudang senjata nuklir China 'mengkhawatirkan'
Beberapa sekutu AS tengah mengembangkan persenjataan sendiri. Australia baru-baru ini mengumumkan akan menganggarkan dana 100 miliar dolar selama 20 tahun untuk mengembangkan rudal canggih.
"COVID dan China telah menunjukkan bahwa bergantung pada rantai pasokan global di masa krisis untuk barang-barang penting --yang mencakup rudal canggih dalam perang-- adalah sebuah kesalahan, jadi ini merupakan pemikiran strategis yang masuk akal untuk memiliki kapasitas produksi di Australia," kata Michael Shoebridge dari Institut Kebijakan Strategis Australia.
Jepang telah menghabiskan dana jutaan dolar untuk membuat senjata peluncur udara jarak jauh dan sedang mengembangkan Tipe 12, versi baru rudal antikapal yang dipasang pada truk dengan jangkauan 1.000 kilometer.
Di antara sekutu-sekutu AS, Korea Selatan mengembangkan program rudal balistik dalam negeri paling tangguh, yang baru-baru ini mendapat dukungan dari Washington lewat sebuah perjanjian untuk menghapus batasan bilateral pada kemampuannya. Dengan jangkauan 800 kilometer, Hyunmoo-4 mampu mencapai daratan China.
"Ketika kemampuan serangan jarak jauh konvensional para sekutu AS meningkat, peluang mereka untuk dimanfaatkan saat terjadi konflik juga meningkat," kata Zhao Tong, pakar keamanan strategis, dalam sebuah laporan.
Baca juga: AS kirim pemberitahuan resmi ke Kongres soal ekspor senjata ke Taiwan
Terlepas dari kekhawatiran itu, Washington "akan terus mendorong para sekutu dan mitra mereka untuk berinvestasi pada kekuatan pertahanan yang sesuai dengan operasi terkoordinasi," kata Mike Rogers, anggota Komite Angkatan Bersenjata DPR AS, kepada Reuters.
Batas Makin Tipis
Taiwan belum mengumumkan secara terbuka program rudal balistiknya, namun pada Desember Kementerian Luar Negeri AS menyetujui permintaan mereka untuk membeli puluhan rudal balistik jarak pendek AS.
Para pejabat mengatakan Taipei sedang memproduksi massal senjata dan mengembangkan rudal jelajah seperti Yun Feng, yang mampu menjangkau Beijing.
Semua ini bertujuan untuk "membuat duri landak (Taiwan) makin panjang ketika kemampuan militer China meningkat", kata Wang Ting-yu, legislator senior dari Partai Progresif Demokratik yang berkuasa kepada Reuters, seraya menegaskan bahwa rudal Taiwan tidak bermaksud untuk menyerang jauh ke dalam China.
Seorang sumber diplomatik di Taipei mengatakan angkatan bersenjata Taiwan secara tradisional fokus pada pertahanan dan menangkal invasi China, yang mulai tampak lebih ofensif.
"Batas antara sifat defensif dan ofensif senjata semakin tipis," kata diplomat itu menambahkan.
Korsel bersaing dengan Korut dalam perlombaan rudal. Korut baru-baru ini dikabarkan menguji versi rudal KN-23 yang lebih baik dengan hulu ledak 2,5 ton yang disebut para analis untuk menyaingi Hyunmoo-4 yang berhulu ledak 2 ton.
Baca juga: China jatuhkan sanksi pada perusahaan AS yang jual senjata ke Taiwan
"Sementara Korut tampak masih menjadi pemicu utama ekspansi rudal Korsel, Seoul sedang mengejar sistem dengan jangkauan lebih dari yang diperlukan untuk melawan Korut," kata Kelsey Davenport, direktur kebijakan nonproliferasi Asosiasi Pengendalian Senjata di Washington.
Ketika proliferasi meningkat, analis mengatakan bahwa rudal-rudal paling mencemaskan adalah yang dapat mengangkut hulu ledak konvensional atau nuklir. China, Korut dan AS semuanya memiliki senjata semacam itu.
"Adalah hal yang sulit, jika bukan mustahil, untuk menentukan apakah sebuah rudal dipersenjatai dengan hulu ledak konvensional atau nuklir sampai rudal itu mencapai sasaran," kata Davenport.
Saat jumlah senjata semacam itu bertambah, "ada peningkatan risiko dari eskalasi yang tidak disengaja menjadi serangan nuklir."
Sumber: Reuters
Baca juga: Taiwan Tak Ingin Lomba Senjata dengan China
Baca juga: Nuklir Korut Bisa Picu Lomba Senjata di Asia
Pewarta: Anton Santoso
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2021