Hal ini jelas termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) pada Bab I Bentuk dan Kedaulatan, Pasal 1:
(1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
(3) Negara Indonesia adalah negara hukum.
Dengan demikian, segala aspek kehidupan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus didasarkan pada hukum dan segala produk perundang-undangan serta turunannya yang berlaku di negara ini.
Jika peraturan perundang-undangan menjadikan instruksi presiden sebagai konsiderans sebuah peraturan, perlu mencantumkan nomor dan judul inpres tersebut.
Sebagai contoh Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Peraturan Kepala Daerah dalam Rangka Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Di dalam Inmendagri No. 4/2020 yang diteken Mendagri Muhammad Tito Karnavian pada tanggal 10 Agustus 2020 itu menjadikan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 tertanggal 4 Agustus 2020 sebagai konsiderans.
Namun, beberapa kali mengeluarkan inmendagri, yakni Inmendagri Nomor 15 Tahun 2021 tentang PPKM Darurat COVID-19 di Wilayah Jawa dan Bali, Inmendagri No. 16/2021, Inmendagri No. 18/2021, dan Inmendagri No. 19/2021 tentang Perubahan Ketiga Inmendagri No. 15/2021 hanya ada frasa "Menindaklanjuti arahan Presiden Republik Indonesia yang menginstruksikan...".
Baca juga: Inmendagri tanpa istilah "darurat" tidak buat suasana mencekam
Meski dalam kondisi yang mendesak terkait dengan keselamatan rakyat Indonesia dari wabah virus corona, pembuatan peraturan perundang-undangan perlu memperhatikan landasan yuridis, sosiologis, dan filosofis. Aturan ini termaktub dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah dengan UU No. 15/2019.
Di dalam UU ini dijelaskan pula bahwa landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk peraturan perundang-undangan yang baru.
Disebutkan pula dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan beberapa persoalan hukum itu, antara lain peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang-tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari undang-undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.
Baca juga: Mendagri terbitkan instruksi perpanjangan PPKM mikro
Inmendagri Terbaru
Terkait dengan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat, Menteri Dalam Negeri menandatangani kembali inmendagri setelah Presiden RI Joko Widodo mengumumkan perpanjangan PPKM hingga 25 Juli.
Namun, ada nuansa lain jika dibandingkan inmendagri sebelumnya. Dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 4 Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali, tidak ada istilah "PPKM darurat".
Kendati demikian, dalam inmendagri yang ditujukan kepada gubernur dan bupati wali kota di wilayah Jawa dan Bali ini masih ada frasa "Menindaklanjuti arahan Presiden Republik Indonesia yang menginstruksikan...".
Tertulis dalam inmendagri tersebut: Menindaklanjuti arahan Presiden RI yang menginstruksikan agar melaksanakan PPKM Level 4 COVID-19 di wilayah Jawa dan Bali sesuai dengan kriteria level situasi pandemi berdasarkan asesmen dan untuk melengkapi pelaksanaan Inmendagri mengenai PPKM berbasis mikro serta mengoptimalkan Posko Penanganan COVID-19 di tingkat desa dan kelurahan untuk pengendalian penyebaran COVID-19.
Terdapat perubahan jika dibandingkan dengan inmendagri sebelumnya. Perubahan ini tertulis dalam Diktum Ketiga Poin c.4 yang intinya supermarket, pasar tradisional, toko kelontong, dan pasar swalayan yang menjual kebutuhan sehari-hari dibatasi jam operasional sampai pukul 20.00 waktu setempat dengan kapasitas pengunjung 50 persen; dan
Di dalam Poin d. disebutkan bahwa pelaksanaan kegiatan makan/minum di tempat umum (warung makan, rumah makan, kafe, pedagang kaki lima, dan lapak jajanan), baik yang berada pada lokasi tersendiri maupun yang berlokasi pada pusat perbelanjaan/mal hanya menerima delivery/take away dan tidak menerima makan di tempat (dine-in).
Begitu pula, akses untuk restoran, supermarket, dan pasar swalayan dapat diperbolehkan dengan memperhatikan ketentuan pada Diktum Ketiga Poin c.3 dan d meski kegiatan pada pusat perbelanjaan/mal/pusat perdagangan ditutup sementara (Diktum Ketiga Poin e).
Agar ketentuan itu bisa dilaksanakan di tingkat provinsi dan daerah, perlu ada peraturan daerah sebagai dasar petugas PPKM untuk menindak pelanggar aturan PPKM yang dimaksud dalam Inmendagri No. 22/2021.
Baca juga: Perubahan ketiga Inmendagri tunjukkan Pemerintah responsif
Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021