Semburat matahari pagi menghangatkan suasana ketika 26 ulama yang merupakan perwakilan dari PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Muhammadiyah, al-Washliyah, GUPPI (Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam), PTDI (Perguruan Tinggi Dakwah Islam), DMI (Dewan Masjid Indonesia), al-Ittihadiyah, empat ulama dari dinas Rohani Islam perwakilan TNI AU, TNI AD, TNI AL dan Polri serta 13 tokoh cendekiawan berkumpul di kota yang masyhur dengan julukan Sunda Kelapa itu.
Sedikitnya ada dua alasan mereka berkumpul di Jakarta saat itu. Pertama, menandai momentum fase kebangkitan kembali bangsa Indonesia sesudah 30 tahun Indonesia merdeka.
Kedua, saat menuju Jakarta hati mereka sama-sama dibalut dan dihiasi semangat yang indah; semangat mempererat persaudaraan dan semangat memperkuat persatuan umat Islam yang kelak menjadi cikal bakal berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang hari ini genap berusia 46 tahun.
Semangat persaudaraan dan persatuan para ulama, zuama dan cendekiawan itu pula yang diterjemahkan oleh mantan Presiden Soeharto dalam pidato pendirian MUI.
Soeharto menginginkan agar MUI mampu memerankan, minimal empat hal. Pertama, memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam di Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama serta bermasyarakat.
Kedua, memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan ke pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan kerukunan antarumat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Ketiga, menjadi penghubung antara ulama dan pemerintah dan penerjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna menyukseskan pembangunan nasional.
Terakhir, meningkatkan hubungan serta kerja sama antar-organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan Muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat, khususnya umat Islam, dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.
Tidak banyak yang mengetahui, jauh sebelum para ulama, zuama dan cendekiawan berkumpul di Jakarta, embrio pendirian MUI sebenarnya sudah pernah diwacanakan oleh Prof. KH. Ibrahim Hosen, seorang ulama fikih kenamaan pada masa itu.
Kala itu beliau mempresentasikan makalah dalam konferensi alim-ulama di Jakarta pada 30 September sampai 4 Oktober 1970. Dengan mengutip pernyataan Majma’ Buhuts al-Islamiyah Kairo Tahun 1964, Ibrahim Hosen mengemukakan pentingnya lembaga fatwa sebagai wadah ulama untuk melakukan ijtihad secara kolektif.
Pada awalnya gagasan tersebut belum mendapatkan dukungan penuh dari peserta konferensi, bahkan Prof. Dr. Buya Hamka, yang juga menjadi penyaji makalah saat itu pada awalnya menolak gagasan tersebut. (Usia Buya Hamka saat itu sekitar 62 tahun, sembilan tahun lebih tua daripada Ibrahim Hosen).
Sebagai gantinya, Prof. Dr. Buya Hamka merekomendasikan kepada Presiden Soeharto agar mengangkat mufti negara yang dapat memberikan nasihat kepada pemerintah dan umat Islam Indonesia.
Meskipun pada akhirnya Buya Hamka menyetujui gagasan Ibrahim Hosen tersebut dan justru kemudian setelah MUI berdiri, Buya Hamka menjadi tokoh ulama yang dipercaya sebagai Ketua Umum MUI yang pertama.
Hadirnya 26 ulama, zusama, rohaniwan Islam dan cendekiawan dalam pertemuan pertama pembentukan MUI menjadi bukti yang sangat jelas terkait prinsip pluralitas MUI. MUI tidak memiliki niatan untuk menjadi agen “supra-struktur”, yang mewadahi seluruh ormas dan individu cendekiawan Muslim tersebut. Sejak berdirinya dan sampai saat ini MUI tetap berkomitmen menjadi ajang pertemuan dan silaturahim bagi semua pihak dan golongan.
Tidak ada orientasi yang mengarah pada sentralisasi, walaupun diawal pembentukannya politik sentralisasi begitu kental sekali pada zaman Orde Baru. Karena itulah, MUI menjunjung tinggi semangat otonomi dan kemandirian organisasi.
Prinsip menjunjung tinggi otonomi, kemandirian dan keragaman ini mendorong MUI untuk tetap terbuka dalam menjalin kerja sama dengan dengan pihak-pihak lain, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional MUI yang diketuai oleh Drs. Bunyam Saptomo dan sekretarisnya Dr. Andy Hidayanto, misalnya melakukan kerja sama dengan Duta Besar Kanada untuk Indonesia Cameron Mackay untuk mengatasi problem sosial-politik berupa kebencian atas nama Islam, Islamophobia (MUI, 17 Juni 2021).
MUI juga bekerja sama dengan Komite Fikih Islam Internasional yang berada di bawah Organisasi Kerjasama Islam (OKI), dalam rangka menyiapkan kader-kader fuqaha’ (ahli fiqih) dan mufti-mufti (pemberi fatwa) profesional di masa yang akan datang (Republika, 13 Juni 2021).
Di samping itu, MUI juga giat mendorong putra-putri terbaik bangsa ini untuk menempuh pendidikan di luar negeri, dengan menyelenggarakan serangkaian webinar yang menghadirkan pemateri dari berbagai universitas ternama di seluruh dunia (InfokomMUISumut, 26 April 2021).
Di dalam negeri, peran dan kontribusi MUI juga besar. Semenjak memasuki masa-masa kritis akibat pandemi COVID-19, MUI menjadi bagian dari elemen masyarakat yang aktif berkontribusi melalui fatwa-fatwa yang menjadi panduan fikih bagi masyarakat.
Dengan sigap dan cepat, MUI menyosialisasikan upaya-upaya penanggulangan pandemi berbasis fatwa. Salah satunya Fatwa Nomor 23/2020 tentang kebolehan uang zakat digunakan untuk membeli keperluan alat pelindung diri (APD) medis, Fatwa Nomor 14/2020 Angka 7 tentang pengurusan jenazah terdampak corona, Fatwa Nomor 14/2020 tentang bolehnya tenaga medis shalat jenazah dalam kondisi tidak suci. Bahkan, MUI membuat Presiden Jokowi mengapresiasi karena telah mengeluarkan fatwa yang ikut mendukung larangan mudik Lebaran.
Jika dilihat dari perkembangan fatwa kontemporer, MUI hadir sebagaimana niatan awal pembentukannya, yakni mengupayakan kebaikan bersama, yang bermanfaat bagi umat dan negara.
Pandemi COVID-19 menjadi saksi mata betapa urgen gotong-royong dan bahu-membahu, antara tiga komponen bangsa, yakni pemerintah, ulama dan rakyat. MUI menjadi jembatan untuk memahamkan rakyat tentang ‘bahasa kebijakan politis’ pemerintah, melalui fatwa-fatwa sebagai logika agama umat.
Kontribusi besar MUI melalui fatwa-fatwa untuk kepentingan umat dan pemerintah, khususnya di masa pandemi ini, mengingatkan kita mengenai makna hakiki hubungan ulama dengan umara.
Sinergi antara ulama dan umara tidak selamanya dikonotasikan negatif, seperti selama ini. Konotasi negatif antara ulama dan umara terjadi apabila sinegri mereka menjurus pada hal-hal yang merugikan umat, bangsa dan negara.
Tetapi, kebersamaan ulama dan umara (pemimpin pemerintahan) yang menjurus pada asas manfaat dan maslahat kebangsaan dan keumatan adalah suatu keniscayaan yang harus dilakukan. MUI telah membuktikannya selama ini.
Alhasil, di Milad Ke-46 MUI terlihat organisasi ini makin memerankan dirinya sebagai mitra strategis umara. Menjadi jembatan antara pemerintah dan umat. Menjadi perekat antarsesama umat Islam dengan beragam organisasinya di bumi pertiwi ini.
Sungguh indah sekali apabila dalam sebuah bangsa kita menemukan para ulama yang saleh dan istikamah bersinergi dalam kebaikan dengan umara yang amanah. Di sanalah niscaya keberkahan Allah akan terwujud, kemaslahatan akan dirasakan oleh umat dan persaudaraan antarsesama yang terjalin makin kuat.
Persaudaraan yang akan menjadi modal sosial yang sangat efektif dan strategis untuk memenangkan peperangan melawan pandemi COVID-19 dan tentu saja untuk mempercepat roda pembangunan di negeri Indonesia yang sama-sama kita cintai. Selamat Milad ke-46 MUI.
*) Mujahidin Nur adalah Anggota Komisi INFOKOM Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Direktur The Islah Centre, Jakarta.
Pewarta: Mujahidin Nur *)
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021