penyelesaian poin-poin krusial untuk disepakati dalam COP26 di Glasgow
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menegaskan kepemimpinan negara maju menjadi poin penting dalam upaya global membatasi naiknya suhu Bumi lebih dari 1,5 derajat Celsius guna menekan dampak perubahan iklim.
Dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa, Siti mengungkapkan bahwa belajar dari status pengajuan hingga mempersiapkan dokumen kontribusi penurunan emisi yang ditetapkan secara nasional (nationally determined contribution/NDC) Indonesia, serta pemutakhiran dokumen tersebut dan Strategi Jangka Panjang untuk Ketahanan Iklim dan Rendah Karbon 2050 (Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050/LTS-LCCR 2050), maka Indonesia berpandangan bahwa kepemimpinan para pihak negara maju yang terpenting dalam pengajuan itu.
Begitu pula dalam menyediakan sarana implementasi bagi negara berkembang untuk persiapan dan implementasi NDC dan strategi jangka panjang, ujar dia.
“Langkah-langkah ini harus direfleksikan melalui hasil COP26, menguraikan tindak lanjut 'Synthesis Report NDC' dengan analisis kebutuhan dukungan dan kesenjangan serta mengacu pada rekomendasinya,” kata Siti mengomentari hasil yang harus dicapai pada Conference of Parties 26 (COP26) Perubahan Iklim PBB di Glasgow, Inggris, pada 1-12 November 2021 nanti.
Siti mengatakan saat membahas topik yang kedua yakni menjaga peningkatan suhu Bumi tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius (Keeping 1,5° C) di 2030 dalam pertemuan hibrid The July Ministerial Meeting COP26 UNFCCC pada 25-26 Juli, dirinya menyampaikan keseriusan Indonesia, antara lain melalui inisiatif Indonesia FoLU Net Sink 2030.
Target ambisius untuk mencapai netral karbon di sektor kehutanan dan penggunaan lahan (FoLU) di 2030 itu akan dilengkapi manual operasionalisasi, yang ditargetkan selesai akhir 2021 dengan tujuan supervisi dan kontrol.
Baca juga: Menteri LHK sampaikan posisi adaptasi RI di pertemuan jelang COP26
Baca juga: KLHK siapkan langkah penuhi target NDC sektor hutan penggunaan lahan
Aksi perubahan iklim pada sektor non-FOLU, khususnya sektor energi, menurut dia, dilakukan melalui penerapan energi baru terbarukan (EBT) dengan kerja sama dunia usaha misalnya pengembangan taman industri hijau di Kalimantan Utara.
Sektor energi juga telah menargetkan penghapusan pembangkit listrik batu bara secara bertahap, penerapan sampah menjadi energi, pengembangan energi biomassa, tenaga hidro, panel surya atap dan terapung, energi panas bumi, serta konversi pembangkit listrik diesel yang memerlukan biaya tinggi dengan gas dan EBT, kata Siti.
Selain itu, berkaitan dengan target yang diharapkan dari COP26, ia menegaskan Indonesia menyerukan kembali agar negara maju tetap mengambil peran untuk “take a lead”, mengingat bahwa LTS yang telah disampaikan Indonesia kepada Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) bersamaan dengan pembaharuan NDC pada Juli 2021 menyediakan pedoman terhadap NDC berikutnya.
Maka Indonesia memandang bahwa mandat baru tentang LTS tidak diperlukan untuk dijadikan salah satu hasil COP26, ujar Siti.
"The July Ministerial Meeting COP26 UNFCCC" yang berlangsung secara hibrida selama dua hari itu terselenggara untuk memberikan kesempatan kepada para menteri lingkungan hidup di negara-negara pihak untuk berkumpul dan membahas penyelesaian poin-poin krusial untuk disepakati dalam COP26 di Glasgow nanti," ujarnya.
Agenda pertemuan tersebut fokus membahas topik meningkatkan adaptasi, menjaga agar 1,5 derajat Celsius tetap hidup, kerugian dan kerusakan, menyelesaikan "Paris Rulebook" khususnya Pasal 6 dan mobilisasi keuangan untuk mengendalikan perubahan iklim, tambahnya.
Baca juga: Menkeu: Butuh dana Rp3.461 triliun penuhi Perjanjian Paris
Baca juga: Menteri LHK bahas pendanaan iklim dengan Presiden COP26 Alok Sharma
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021