"Mutasinya itu yang akan mempengaruhi, dia (virus) hidup di orang. Dia hidup di orang-orang yang berbeda pasti gampang bermutasi, makanan orang itu berbeda, kemudian antibiotiknya berbeda, antivirusnya berbeda, ya pasti akan bermutasi," kata Yunis saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu.
Karena virus menyesuaikan diri dengan kondisi manusia dan lingkungan, katanya, maka mutasi terjadi dan memungkinkan munculnya varian baru.
Hal yang sama dikemukakan ahli epidemiologi Universitas Andalas Defriman Djafri, yang juga merupakan Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas.
Defriman mengatakan virus membutuhkan inang untuk dapat bereplikasi dan berkembang biak. Dalam kasus COVID-19, virus SARS-CoV-2 sebagai agen penyakit COVID-19, inangnya adalah manusia sebagai penjamu, dan lingkungan sebagai pendukung interaksi inangnya.
Virus tersebut, menurut dia, bermutasi untuk bisa beradaptasi dengan kondisi manusia dan lingkungan sehingga bisa bertahan hidup.
Defriman menuturkan semakin banyak penularan, potensi mutasi juga besar terjadi. Untuk menghindari terjadi mutasi, maka perlu mengendalikan manusia supaya tidak terjadi penularan dan tentunya tidak terjadi mutasi.
"Kalau manusianya tidak mau diatur melalui pembatasan yang dilakukan, beradaptasilah dengan cerdas, dengan memahami faktor risiko, jalur pemajanan serta mematuhi protokol kesehatan dengan cerdas," tuturnya.
Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021