• Beranda
  • Berita
  • Krisis COVID-19, junta Myanmar cari kerja sama global

Krisis COVID-19, junta Myanmar cari kerja sama global

28 Juli 2021 19:07 WIB
Krisis COVID-19, junta Myanmar cari kerja sama global
Arsip foto - Warga pengguna transportasi umum berdesakan di tengah ancaman penyebaran wabah virus COVID-19 di Yangon, Myanmar (7/12/2020). ANTARA/REUTERS/Shwe Paw Mya Tin/aa.
Penguasa militer Myanmar tengah mencari kerja sama dalam skala lebih besar dengan komunitas internasional untuk mengatasi wabah virus corona, kata media pemerintah pada Rabu (28/7).

Negara Asia Tenggara itu berjuang melawan gelombang infeksi yang melonjak.

Jenderal Senior Min Aung Hlaing dalam pidatonya menyerukan lebih banyak kerja sama dalam upaya pencegahan, pengendalian dan pengobatan COVID-19, termasuk dengan sesama anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan “negara-negara sahabat”, sebagaimana dilaporkan Global New Light of Myanmar.

Myanmar baru-baru ini menerima dua juta dosis vaksin tambahan dari China, namun diyakini hanya memvaksinasi sekitar 3,2 persen dari populasinya, menurut pelacak Reuters.

Upaya untuk mendapatkan oksigen telah dilakukan oleh mereka yang putus asa di banyak bagian negara tersebut. Portal berita Myanmar Now, mengutip saksi, melaporkan bahwa setidaknya delapan orang telah meninggal dunia di rumah sakit Yangon pada akhir pekan setelah sistem oksigen pipa gagal.

Reuters tidak dapat mengonfirmasi secara independen laporan tersebut. Rumah Sakit Umum Okkalapa Utara dan juru bicara kementerian kesehatan tidak dapat segera dihubungi untuk dimintai komentar.

Baca juga: Banjir, kudeta perburuk wabah COVID-19 di Myanmar

Jumlah infeksi di Myanmar telah melonjak sejak bulan Juni dengan 4.964 kasus dan 338 kematian dilaporkan pada Selasa (27/7), menurut data kementerian kesehatan yang dikutip di media. Petugas medus dan layanan pemakaman menempatkan jumlah korban di angka yang lebih tinggi.

Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan pemerintah terpilih yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi pada 1 Februari lalu, dengan protes reguler dan pertempuran antara tentara dan milisi yang baru dibentuk.

Pekan lalu, para tahanan di Yangon melakukan protes atas apa yang disebut para aktivis sebagai wabah besar COVID-19 di penjara Insein era kolonial, tempat banyak pengunjuk rasa pro-demokrasi ditahan.

Upaya untuk mengatasi wabah semakin terhambat oleh beberapa banjir terburuk dalam beberapa tahun terakhir di Myanmar timur.

Militer tampak waspada terhadap bantuan dari negara lain dalam peristiwa bencana di masa lalu, terutama jika mereka yakin bantuan tersebut diikuti dengan timbal balik. Hal tersebut pun memaksa masyarakat Myanmar untuk saling membantu satu sama lain, meskipun junta yang sebelumnya mengizinkan bantuan melalui ASEAN usai siklon Nargis yang menghancurkan pada tahun 2008.

Baca juga: Myanmar akan gunakan vaksin China untuk lawan COVID-19 di perbatasan

Meskipun Min Aung Hlaing menyetujui rencana perdamaian ASEAN yang dicapai pada bukan April, militer telah menunjukkan sedikit tanda untuk menindaklanjutinya dan justru mengulangi rencananya sendiri yang sama sekali berbeda untuk memulihkan ketertiban dan demokrasi.

Militer membenarkan kudetanya dengan menuduh partai Suu Kyi memanipulasi suara dalam pemilihan umum November untuk mengamankan kemenangan telak. Komisi pemilihan pada saat itu dan pengamat luar menolak tuduhan tersebut.

Tetapi sebagai tanda lebih lanjut dari cengkeraman kekuasaan junta yang semakin ketat, komisi pemilihan yang ditunjuk militer pekan ini secara resmi membatalkan hasil pemungutan suara pada bulan November lalu, mengatakan bahwa itu tidak sejalan dengan konstitusi dan undang-undang pemilihan, dan tidak “bebas dan adil”, demikian dilaporkan jaringan MRTV yang dikendalikan militer.

Sumber: Reuters

Baca juga: Tertular COVID-19 di penjara, penasihat Suu Kyi meninggal
Baca juga: Myanmar tingkatkan target vaksinasi di tengah lonjakan kasus COVID-19

Pewarta: Aria Cindyara
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2021