Saied pada Minggu (25/7) menggunakan kekuatan darurat untuk merebut kendali pemerintah, memecat perdana menteri dan membekukan Parlemen dalam sebuah langkah yang disebut musuhnya sebagai kudeta.
Dia mencopot Dahach setelah insiden pada Rabu sore ketika pejabat dari sindikat jurnalis dan liga hak asasi manusia mengatakan mereka dilarang masuk ke stasiun meski telah diundang untuk tampil di sebuah acara.
Amira Mohammed, wakil kepala sindikat wartawan, mengatakan Dahach telah memberitahunya bahwa seorang komandan tentara telah memerintahkannya untuk tidak mengizinkan tamu masuk ke dalam gedung. Tentara telah mengepung stasiun televisi pada Minggu.
Baca juga: Pendukung presiden Tunisia bergembira rayakan penggulingan pemerintah
Baik Mohammed dan pejabat hak asasi manusia, Basem Trifi, kemudian berhasil tampil di acara itu. Seorang penasihat Saied dan seorang juru bicara militer juga diwawancarai dalam program tersebut dan keduanya menyangkal bahwa ada perintah yang diberikan untuk menghentikan para tamu masuk.
Beberapa wartawan Tunisia menyerukan di media sosial agar Dahach dipecat.
Pada Senin polisi menggerebek biro berita Al Jazeera di Tunis, mendorong Departemen Luar Negeri AS untuk mengatakan bahwa pihaknya terganggu oleh langkah tersebut dan mendesak "penghormatan yang saksama" terhadap kebebasan pers.
Pada Rabu, seorang reporter New York Times mengatakan dia telah ditahan selama dua jam di Tunis tetapi kemudian dibebaskan dan diizinkan untuk terus bekerja.
Sejak revolusi 2011 yang memperkenalkan demokrasi, Tunisia telah menikmati kebebasan pers yang jauh lebih besar daripada negara-negara tetangganya. Kantor berita negara TAP secara teratur meliput protes anti pemerintah dan pernyataan kritis terhadap pihak berwenang.
Sumber: Reuters
Baca juga: Inggris: Prinsip demokrasi, HAM selesaikan krisis politik Tunisia
Baca juga: Presiden Tunisia pecat perdana menteri, bekukan parlemen
Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2021