Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari mengatakan calon pengganti panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto jangan hasil lobi-lobi politik.Panglima TNI harus loyal hanya kepada Presiden. Lebih tepatnya, Panglima TNI harus loyal kepada negara, bangsa dan konstitusi
Feri dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis menjelaskan panglima TNI harus dipilih berdasarkan profesionalitas, kepemimpinan, integritas dan loyalitas terhadap Presiden.
Ia menegaskan panglima TNI akan datang tidak boleh ada dualisme loyalitas seperti kepada Presiden dan parpol atau broker pelobi-nya.
"Panglima TNI harus loyal hanya kepada Presiden. Lebih tepatnya, Panglima TNI harus loyal kepada negara, bangsa dan konstitusi," ucap dia menegaskan.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas itu menjelaskan panglima TNI harus seorang figur yang apolitis. Oleh karena itu, tidak boleh berkaitan dengan kepentingan politik kubu manapun. Sehingga Panglima TNI yang dipilih tidak ikut politik praktis dan patuh pada konstitusi serta HAM.
Panglima TNI harus loyal dan patuh pada Presiden karena Presiden adalah Panglima Tertinggi TNI.
Baca juga: Imparsial: Presiden pilih calon panglima TNI bebas pelanggaran HAM
Baca juga: Pengamat: Calon panglima TNI harus paham perang hibrida dan teritorial
Komunikasi politik yang dibangun dengan Presiden pun harus baik dan langsung, tidak melewati orang lain. Sehingga dapat menerjemahkan semua perintah arahan Presiden secara komprehensif.
Sementara itu, pegiat Hak Asasi Manusia (HAM), Ahmad Fanani Rosyidi, menambahkan pergantian Panglima TNI harus mempertimbangkan keseimbangan antar-matra sesuai yang berlaku dalam UU TNI Nomor 34 tahun 2004.
Oleh karena itu jika melenceng dari UU tersebut maka akan merusak tatanan atau kultur yang sudah ada di organisasi TNI. Apalagi jika dalam pergantian Panglima TNI mempertimbangkan alasan politik atau kekuasaan semata.
"Jika hal itu yang terjadi maka akan merusak profesionalitas dan keseimbangan di tubuh TNI," ujar Ahmad.
Mantan peneliti bidang HAM Setara Institute ini menegaskan, Pasal 14 ayat 4 UU TNI menjelaskan bahwa Panglima TNI dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat kepala staf angkatan. Selain itu merujuk prinsip yang diatur pada Pasal 4 ayat 2 UU TNI bahwa tiap-tiap angkatan mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat.
"Tapi pergantian Panglima TNI merupakan hak prerogatif Presiden dan juga produk politik di forum DPR. Namun demikian, pergantian Panglima TNI harus proporsional dan taat kontitusi sesuai UU TNI Nomor 34 tahun 2004, khususnya pada pasal 4 ayat 2 menyangkut prinsip kedudukan tiap tiap angkatan yang sama dan sederajat agar tidak ada dominasi," tutur Ahmad.
Terkait upaya dan antisipasi agar Panglima TNI ke depan tidak dimanfaatkan untuk agenda 2024, mantan peneliti bidang HAM di ELSAM ini meminta agar Presiden Jokowi untuk segera menyodorkan nama calon Panglima TNI ke DPR sesuai dengan waktunya. Sehingga DPR bisa menentukan dan mengusulkan siapa yang bisa menjadi Panglima TNI untuk menggantikan Marsekal Hadi Tjahjanto.
"Walaupun penentuan Panglima TNI hak prerogatif Presiden tapi harus sesuai konstitusi sehingga tidak ada dominasi matra untuk menjadi Panglima TNI," ucap-nya.
Oleh karena itu, sambung Fanani, saat ini Presiden Jokowi diuji untuk memilih siapa yang bakal menjadi Panglima TNI. Pilihan Jokowi juga harus menghindari polemik. Karena jika yang dipilihnya keluar dari konstitusi maka akan menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Oleh karena itu dipastikan Jokowi akan taat UU dan kultur TNI dalam menentukan Panglima TNI.
Saat ini ada dua nama Jenderal yang mencuat kuat dan digadang-gadang akan menggantikan posisi sebagai Panglima TNI. Kedua sosok yang namanya kerap santer dibicarakan adalah KSAL Laksamana Yudo Margono dan KSAD Jenderal Andika Perkasa.
Baca juga: Akademisi: Panglima TNI dari matra laut perkuat poros maritim dunia
Baca juga: Pengamat: Pengangkatan Panglima TNI pertimbangkan dua agenda strategis
Pewarta: Fauzi
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021