Di balik setiap petaka pasti ada kesempatan dan peluang untuk diraih asal jeli dan ligat memanfaatkan
Pandemi Covid-19 telah terjadi 16 bulan di Indonesia sejak pemerintah mengakui secara resmi bahwa virus Korona ada di Tanah Air. Awal Maret 2020, hanya dua orang yang dinyatakan secara resmi terjangkit dan sejak itu menyebar dan tidak ada seorangpun yang tahu kapan akan berakhir.
Ketidakpastian —dalam usaha atau bisnis dan investasi— merupakan hal yang tidak dikehendaki karena bisa mengacaukan rencana-rencana dan strategi-strategi yang seharusnya bisa berjalan secara baik. Dalam konteks bisnis, semua itu adalah biaya, kesempatan, dan keuntungan.
Namun, pandemi Covid-19 yang terjadi sejak awal Maret 2020 membalikkan keadaan begitu saja. Banyak bisnis yang terpengaruh, mengubah haluannya dari mencari laba menjadi sekedar bertahan.
Di balik setiap petaka pasti ada kesempatan dan peluang untuk diraih asal jeli dan ligat memanfaatkan. Hal ini juga yang diutarakan konsultan dari TBWA Indonesia, Henry Manampiring, dalam suatu percakapan di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dalam percakapan secara virtual itu, turut hadir adalah CEO TBWA Indonesia, Saumyajit Banerjee, yang menekankan kualitas SDM sebagai salah satu kunci utama keberhasilan dan alam kompetisi yang harus ditanamkan kepada generasi penerus sejak usia dini.
Untuk Indonesia, Manampiring mengulas berbagai pengalaman empirik dan hasil pengamatannya terhadap kinerja bisnis di Tanah Air, terkhusus yang terimbas pandemi Covid-19. Ia memberi ilustrasi bisnis yang berjalan secara konvensional dengan sasaran dan target yang juga konvensional; bahkan itu di kalangan pebisnis pemula yang berbasis online.
Indonesia -disebut mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, sebagai salah satu negara dengan tingkat pergaulan di dunia maya yang paling tinggi karena begitu banyak warganya yang menggunakan gawai dan media sosial.
“Paling-paling menambah pangsa pasar, menambah subscriber secara inkremental, secara sedikit-sedikit. Ini tidak bisa, kalau mau berubah harus secara mendasar harus berbeda caranya. Sekarang lebih mudah memahami itu karena ada start up yang tiba-tiba menggeser posisi pemain lama karena mereka mengubah model bisnisnya,” kata Manampiring.
Semua sudah diperkirakan dan dianjurkan sejak 1996 sebenarnya. Setelah 25 tahun buku Disruption X ini diluncurkan, perusahaan di mana dia bernaung ingin ada penyempurnaan, sesuatu yang baik dan lebih baik. dikemas ulang, agar lebih sempurna.
Disruption X yang dimaksud bukanlah suatu program di bidang bisnis yang konvensional, melainkan suatu perubahan mendasar pada cara melihat lingkungan bisnis yang dipastikan terus dinamis. Sebagai suatu sistem yang ditawarkan, Disruption X dari TBWA ini berbasis hak paten yang bisa diselami klien-klien mereka.
Dalam cuplikan situsnya, disrupsi (“tindakan atau proses yang mengubah sesuatu, jeda dari suatu laku atau kegiatan yang berjalan secara sinambung” menurut merriam-webster.com) ini dinamakan Disruption Live, suatu sistem untuk mengidentifikasi pemicu-pemicu dalam budaya yang bermakna besar pada jenama klien mereka.
“Kalau dibilang solusi, ini sebetulnya lebih pada kerangka kerja untuk membantu klien-klien kami. Ini sifatnya membangun bisnis jangka panjang, bukan jangka pendek tetapi ada titik temu dalam masa pandemi ini dan ke depan,” kata dia.
Waktu sebelum pandemi korona ini terjadi, pola pikir perusahaan itu adalah bertumbuh dan pertumbuhan. Memasuki tahun kedua pandemi, pertumbuhan tetap penting namun ternyata ada hal yang membayangi kata pertumbuhan itu, yaitu bagaimana bertahan dan bisa tetap hidup.
“Setelah saya melihat kondisi di lapangan, sebetulnya yang dinyatakan dalam Disruption X ini memiliki kesamaaan. Pola pikir pertumbuhan bisa diterapkan pada pola pikir bertahan,” kata dia. Ia memberi ilustrasi pada suatu perusahaan media massa besar Indonesia yang meraksasa lengkap dengan armada distribusi dan agen-agen setianya.
“Cukup mengejutkan bahwa bukan di jaringan jurnalisnya. Justru pada agen mereka yang selama ini tidak dilirik, karena jaringan agen ini sangat penting dalam bisnis koran cetak. Sebenarnya aset itu bisa berubah menjadi jasa kurir dan pengiriman karena jaringannya sudah ada dan terbentuk secara baik sejak lama,” kata dia.
“Karena pertumbuhan e-commerce, jalan berpikir demikian ini sangat tepat sekali apalagi sekarang masa pandemi. Jika mereka bisa mengidentifikasi diri dan asetnya, maka pas sekali dengan konteks masa kini dan ke depan,” kata dia.
Lebih kreatif
Selanjutnya dia sekilas menguraikan enam langkah yang bisa menjadi panduan untuk bisnis bisa bertahan pada masa pandemi Covid-19 ini.
Dua langkah pertama bisa digabung, biasa disebut sebagai brand economies dalam bahasa sederhana, yaitu sumber pertumbuhan ekonomi itu dari mana lagi? Ini penting karena perusahaan itu memiliki pola pikir yang sudah terlalu kaku dan konvensional.
Dicontohkan, maskapai penerbangan yang maka pendapatannya selalu datang dari hanya datang dari tiket dan liburan saja. Ia mengajukan pertanyaan, jika kita sudah memiliki armadanya, apa lagi yang bisa kita ciptakan dan tawarkan kepada masyarakat pemakai jasa?
Langkah pertama yang menjadi pemikiran adalah pertanyaan kreatif tentang dari mana lagi perusahaan bisa melakukan bisnis, yang memaksa perusahaan untuk lebih kreatif.
Langkah kedua adalah kuantifikasi bisnis yang akan diterjuni. “Kalau hitung-hitungannya tidak masuk maka jangan dikerjakan. Langkah ini prioritas, di mana bisnis yang tetap harus dipertahankan ya dilindungi karena itu tulang punggung kita, tapi di luar itu sebetulnya terbuka kemungkinan untuk merambah ke bidang lain karena ini membuka peluang untuk berhasil,” kata dia.
Misalnya, pada produsen pakaian dalam pria yang mengalihkan bahan dasar produknya menjadi masker kesehatan yang dia nilai sangat pas untuk masa-masa pandemi ini.
“Ini langkah cepat, mereka punya pemasok material, penjahit-penjahit yang handal, mesin-mesin jahit yang bagus dan bisa memenuhi kapasitas produksi, dan sebagainya. kenapa membatasi diri hanya di sektor yang selama ini diterjuni saja? Sebanyak 200 juta penduduk Indonesia adalah pasar yang amat sangat besar,” kata dia.
Langkah ketiga adalah sesudah mengenali bisnisnya maka yang berikut adalah melihat brand alias jenama. Kenapa demikian? Karena bagaimanapun jenama ini adalah hal yang sangat penting.
Jika ada bisnis baru ini maka jenama lama itu harus dibagaimanakan? Mau pakai jenama baru atau jenama lama? Jika pakai jenama baru, tentu harus ada investasi lebih. “Mau mengandalkan nama besar jenama lama atau baru sama sekali,” kata dia.
“Perilaku” jenama itu juga harus disesuaikan dengan perilaku bisnis yang akan dijalankan. Kesulitan terkait pandemi ini adalah kita semua tidak tahu sampai kapan pandemi ini terjadi.
Saat suatu bisnis dimasukkan ke dalam kesempatan yang disediakan pada masa pandemi ini, harus disadari bahwa kesempatan ini tidak akan bertahan lama sehingga harus dipertimbangkan bahwa suatu jenama kembali ke bisnis yang selama ini mereka geluti atau cari lagi bisnis yang lain.
Contohnya Thai Airways yang mau mengubah diri dari perusahaan penerbangan kelas dunia tiba-tiba banting setir menawarkan keunggulan kuliner penerbangannya yang terkenal itu kepada masyarakat umum. Pada kasus ini, jenama yang diandalkan tetaplah jenama pokoknya: Thai Airways.
Langkah keempat, sesudah sepakat dengan langkah ketiga, langkah keempat adalah menetapkan titik-titik touch point dan mekanisme serta metodologi yang berbeda sesuai visi-misi perusahaan dan keadaans setempat masyarakat yang menjadi target. Contohnya bank yang memiliki jaringan sampai ke desa-desa yang bisa mengubah pola pelayanannya, yang dia istilahkan sebagai experience mapping.
Langkah kelima adalah suatu hal yang disebut sebagai experience economics. Bermula dari diskusi dan pematangan ide yang bisa menimbulkan ide-ide liar. Yang sering menjadi masalah pokok adalah kadang-kadang ide yang diimplementasikan bukan melalui kajian yang memadai dan masak secara bisnis, atau malahan menuruti selera pucuk pimpinan.
Pada masa pandemi korona, hal ini semakin cepat membuat perusahaan semakin terpuruk.
Contoh dari kesediaan perusahaan keluar dari zona nyaman mereka adalah suatu bank dengan jaringan sampai ke desa-desa menambah titik-titik WiFi ketimbang membuka kantor cabang. “Hal ini menambah kesan dan pengalaman yang baik bagi masyarakat dalam berurusan dengan bank itu,” kata dia.
Langkah keenam adalah hal-hal yang menyangkut cara kerja. “Sebenarnya bukan langkah namun cara kerja, jadi bagaimana menjadikan pola pikir disruptif itu sebagai cara penyelesaian, bukan suatu workshop, yang kadang-kadang dijadikan senjata pamungkas untuk mengatasi suatu permasalahan,” kata dia.
Jika workshop alias lokakarya yang selalu jadi andalan maka sifat penyelesaiannya hanya ad hoc saja.
Padahal dalam Disruption X, pola pikir mencari cara penyelesaian itu menjadi nafas sehari-hari. Dalam rapat kerja tahunan, mencari dan menemukan jalan keluar yang baru itu harus selalu dibudayakan selain membicarakan capaian-capaian, langkah-langkah pesaing dan lain sebagainya.
Adanya pandemi ini, pada sisi lain melahirkan keperluan akan suatu hal. Misalnya jalan-jalan ke Amerika Serikat sambil divaksin. Kenapa tidak dibalik, jalan-jalan ke Bali sambil divaksin? Bali bisa dijadikan pusat vaksinasi kawasan sehingga kesempatan bisnis itu bisa diraih.
Baca juga: Kemenkeu dukung kolaborasi antara perbankan dan fintech
Pewarta: Ade P Marboen
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021