Langkah tersebut bertujuan untuk mengunci pasokan logam baterai jelang lonjakan permintaan yang telah diperkirakan.
Melansir laporan Reuters pada Senin, Vulcan dikabarkan akan memasok 6.000 hingga 17.000 ton litium setiap tahun untuk Renault. Kontrak lima tahun dapat diperpanjang jika kedua belah pihak setuju.
Baca juga: Renault-Nissan jalani sidang atas tuduhan pelanggaran prokes di India
Renault menargetkan 90 persen dari produksi menjadi sepenuhnya listrik pada tahun 2030. Perusahaan mengatakan baterai litium dari panas bumi (geotermal) yang tidak memiliki emisi karbon merupakan daya tarik utama.
Proyek panas bumi biasanya melibatkan ekstraksi air garam litium yang sangat panas dari reservoir bawah tanah dan menggunakan energi panas untuk menghasilkan listrik, setelah itu litium diekstraksi dari air garam.
Air garam tersebut kemudian diinjeksikan kembali ke bumi. Hal ini membuat prosesnya lebih berkelanjutan daripada tambang terbuka dan kolam penguapan air garam yang telah menjadi metode umum untuk menghasilkan logam putih.
Renacanya, Vulcan menginvestasikan 2 miliar dolar AS atau sekitar Rp28,9 triliun untuk membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi dan fasilitas untuk mengekstrak litium. Diperkirakan pada tahun 2024 produksi logam putih dimulai.
Pada bulan lalu, Vulcan menandatangani kesepakatan jangka panjang untuk menjual litium hidroksida ke perusahaan LG Chemical Korea Selatan.
Vulcan juga telah menandatangani nota kesepahaman sebagai pemasok litium dengan Stellantis NV, produsen mobil terbesar keempat di dunia.
Baca juga: Renault prediksi laba 2021 meskipun krisis chip dan biaya bahan baku
Baca juga: Nissan sumbang pendapatan 173 juta euro untuk Grup Renault
Baca juga: Renault akan tangguhkan produksi di pabrik Busan imbas chip langka
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021