Potensi kehilangan PDB karena perubahan iklim itu nilainya cukup besar Rp110 triliun hingga Rp570 triliun lebih
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan pembiayaan adaptasi perubahan iklim yang seimbang dengan mitigasi berpotensi menyelamatkan produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp110,38 triliun hingga Rp577,01 triliun.
"Yang kita sasar adalah bagaimana mengurangi potensi kehilangan PDB. Potensi kehilangan PDB karena perubahan iklim itu nilainya cukup besar Rp110 triliun hingga Rp570 triliun lebih," kata Kepala Sub Direktorat Sumber Daya Pendanaan Direktorat Mobilisasi Sumber Daya Sektoral dan Regional di Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Agus Rusly dalam sesi Pojok Iklim untuk Peluang Pembiayaan Karbon Biru di Indonesia di Jakarta, Rabu.
Bahkan, kata dia, dalam peta jalan adaptasi perubahan iklim Indonesia yang tercantum juga dalam dokumen kontribusi penurunan emisi yang telah ditentukan secara nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) 2030, yang diperbarui pada 22 Juli 2021, potensi kehilangan PDB akan semakin besar mencapai hingga Rp4.328,38 triliun, jika tidak melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim, kerusakan ekosistem, serta bencana hidrometeorologi di periode 2021-2050.
Karena itu, katanya, seperti yang disampaikan Menteri LHK Siti Nurbaya dalam pertemuan tingkat menteri lingkungan hidup menjelang Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB (Conference of Parties/COP) 26 secara daring beberapa waktu lalu, diharapkan pembiayaan untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim berimbang.
Ia mengatakan upaya adaptasi dalam NDC dilakukan sebagai upaya mempertahankan berkontribusi ekonomi, sosial dan mata pencaharian, serta ekosistem dan bentang alam (lanskap) terhadap PDB.
Adapatasi untuk ketahanan ekonomi yang dilakukan, kata dia, antara lain melakukan pertanian dan perkebunan berkelanjutan, pengelolaan daerah aliran sungai terintegrasi, menurunkan deforestasi dan degradasi hutan, konservasi lahan, pemanfaatan lahan terdegradasi untuk energi terbarukan, serta perbaikan efisiensi energi dan pola konsumsi.
Sedangkan adaptasi untuk ketahanan sosial dan mata pencaharian masyarakat yang dapat dilakukan antara lain, peningkatan kapasitas adaptasi dengan membangun sistem peringatan dini, kampanye kesadaran publik secara luas dan program kesehatan masyarakat, pengembangan kapasitas dan partisipasi masyarakat di dalam porses perencanaan lokal untuk mengamankan akses kepada sumber daya alam utama.
Lalu, meningkatkan secara cepat program kesiap-siagaan menghadapi bencana dalam rangka pengurangan risiko bencana, identifikasi wilayah sangat rentan di dalam perencanaan dan tata guna lahan, peningkatan permukiman masyarakat penyediaan kebutuhan dasar dan pembangaunan prasaranan tahan iklim, serta pencegahan dan resolusi konflik.
Sedangkan adaptasi untuk ketahanan ekosistem dan lanskap, menurut Agus Rusly, dilakukan dengan melakukan konservasi dan restorasi ekosistem, perhutanan sosial, perlindungan kawasan pesisir, pengelolaan daerah aliran sungai terintegrasi, kota berketahanan iklim.
Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Sarwono Kusumaatmadja mengatakan dampak perubahan iklim mengalami peningkatan drastis dan mengerikan. Namun, kelihatannya Indonesia masih beruntung karena letak geografis yang "menumpulkan" dampak peningkatan kondisi perubahan iklim itu.
Potensi penyerapan emisi karbon dari wilayah transisi antara terestrial dan laut, menurut dia, perlu mendapatkan perhatian, karena itu suatu gambaran tentang Indonesia sebagai negara kepulauan.
Hal itu seharusnya bisa memacu semangat untuk memanfaatkan secara berkelanjutan untuk masa depan, sekaligus tanggung jawab terhadap stabilitas iklim global, demikian Sarwono Kusumaatmadja.
Baca juga: Kearifan lokal dan teknologi dapat bantu petani hadapi perubahan iklim
Baca juga: KLHK: Proyek adaptasi perubahan iklim bantu kurangi risiko bencana
Baca juga: Kepada Belanda, Indonesia tawarkan kerja sama adaptasi perubahan iklim
Baca juga: Peneliti: Indonesia perlu fokus pada adaptasi iklim
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021