"Pokoknya industri rumput laut harus tumbuh di Maluku karena waktu panennya hanya membutuhkan waktu 45 hari saja," kata Retraubun saat memberikan sambutan pada pembukaan Sidang ke-36 Badan Pekerja Harian (BPH) Sinode GPM di Ambon, Minggu malam.
Retraubun mengatakan, dijadikannya rumput laut sebagai penggerak ekonomi kerakyatan di Maluku karena selain waktu panen yang hanya 45 hari, juga tidak membutuhkan teknologi canggih dan investasi besar.
"Hanya dengan botol bekas air mineral dan tali plastik saja masyarakat sudah bisa membudidayakan rumput laut," ujarnya.
Dia menegaskan, jika mulai saat ini seluruh masyarakat Maluku menggeluti rumput laut, maka maka produksinya meningkat dan industri skala besar akan tumbuh di daerah provinsi ini.
"GPM memiliki ribuan pendeta yang bertugas sebagai pelayan jemaat yang tersebar hingga ke pelosok terpencil. Seluruh kekuatan GPM mulai saat ini harus menjadi motor penggerak pengembangan dan budidaya rumput laut di Maluku," tandasnya.
Dia menegaskan, program pengembangan budaya rumput laut telah dijadikan prioritas untuk mewujudkan seruan dan komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjadikan Maluku sebagai lumbung ikan nasional saat puncak pelayaran internasional Sail Banda 2010, di Ambon, Agustus lalu.
"Namun jika budidaya yang mudah dan investasinya kecilnya ini saja tidak bisa dilakukan, maka jangan berharap Maluku akan menjadi lumbung ikan nasional," katanya.
Menurutnya, jika seorang warga membudidayakan rumput laut dengan menggunakan tali plastik sepanjang 200 meter, maka dalam waktu 45 hari sudah bisa memanen 100 kilogram rumput laut kering, dan jika dijual di Pulau Jawa dengan harga berlaku saat ini yakni Rp10.000/kg, maka keuntungannya Rp1 juta.
"Karena itu saya harapkan rumput laut bisa menjadi komoditi penting di Maluku. Makanya saya imbau seluruh Pendeta yang menjadi pelayan jemaat hingga di daerah terpencil mulai dari saat ini harus menggerakan ekonimi rakyat dengan budidaya," ujarnya. (ANT/K004)
Pewarta: NON
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010