Pengamat kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada, Satria Aji Imawan menilai upaya pemerintah untuk menekan prevalensi perokok belum maksimal, tercermin dari jumlah perokok di Indonesia yang masih tinggi mencapai sekitar 65,7 juta penduduk.
“Pemerintah perlu mengintensifkan upaya baru untuk menekan prevalensi perokok di Indonesia dengan melibatkan pelaku industri hasil tembakau,” kata Satria Aji Imawan dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Menurut dia, rencana penetapan aturan khusus untuk produk hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) sejauh ini masih belum terealisasi.
Padahal, produk ini telah cukup banyak diteliti dan terbukti memiliki profil risiko yang lebih rendah daripada rokok, sehingga bisa membantu menekan bahaya kesehatan akibat rokok.
“Regulasi yang sempat dicanangkan untuk mengatur HPTL sejauh ini masih mandek,” ujarnya.
Ia menilai, saat ini pemerintah masih gamang, karena industri tembakau merupakan salah satu sektor yang memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia. Belum lagi, di era pandemi seperti saat ini.
“Saya pikir pemerintah berpikir dua kali untuk melakukan inovasi radikal di bidang rokok,” ujarnya.
Sementara itu, Director of University of Michigan Tobacco Research Network Cliff Douglas dalam sebuah diskusi Global Forum on Nicotine mengatakan, penetapan kebijakan terkait produk ini perlu mempertimbangkan riset-riset yang sudah ada, termasuk riset yang dilakukan industri. Hal ini demi menciptakan kebijakan yang proporsional.
Menurut dia, pembuat kebijakan tidak perlu langsung percaya dengan apa yang disodorkan oleh industri. Namun, mereka setidaknya harus melakukan upaya validasi, seperti melakukan verifikasi atas hasil-hasil riset yang disodorkan ke pemerintah sebelum membuat keputusan.
“Saya harap, rekan-rekan saya di bidang kesehatan masyarakat tidak perlu takut untuk melakukan hal-hal itu,” kata Cliff.
Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2021