• Beranda
  • Berita
  • Limbah medis dan penanganan darurat di era pandemi

Limbah medis dan penanganan darurat di era pandemi

8 Agustus 2021 17:33 WIB
Limbah medis dan penanganan darurat di era pandemi
Petugas memindahkan kantong-kantong berisi masker habis pakai dari truk milik Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta ke truk milik PT Wastec Internasional di Dipo Sampah Ancol, Jakarta, Rabu (15/7/2020). ANTARA/Aditya Pradana Putra.
Pandemi COVID-19 masih melanda Indonesia sejak Maret 2020. Bersamaan dengan itu limbah medis yang dihasilkan dari perawatan pasien juga terus bertambah.

Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, sampai dengan tanggal 27 Juli 2021 terdapat 18.460 ton limbah medis yang berbahan berbahaya dan beracun (B3) dan membutuhkan penanganan khusus.

Isu limbah medis juga menjadi sorotan Ombudsman Republik Indonesia yang dalam tinjauan sistemik terhadap pengelolaan dan pengawasannya menemukan masih ada daerah yang belum memiliki aturan pengelolaan, tempat penampungan sampah tidak berizin dan sesuai standar, praktik pengumpulan, pengangkutan serta pengolahan yang tidak aman.

Ombudsman RI juga menemukan masih menemukan masalah dalam pengawasan limbah medis, seperti kasus pembuangan banyak kantong plastik berisi alat pelindung diri (APD) yang bercampur sampah infeksius di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada awal tahun ini.

Bocornya limbah infeksius, yang seharusnya ditangani secara khusus, juga menjadi perhatian Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) sekaligus Ketua Umum Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI) Bagong Suyoto.

Menurut Bagong, masih terdapat limbah medis berupa masker dan bahkan APD di tempat pembuangan akhir (TPA) dan tempat pengolahan sampah terpadu (TPST).

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah jelas menyatakan TPA hanya untuk sampah rumah tangga, sementara limbah B3 harus ditangani secara khusus apalagi limbah medis memiliki sifat infeksius.

"Banyak yang mencampur, ada yang sengaja mencampur, terus dibuang ke TPA, seperti masker, sarung tangan, APD, bekas selang lalu kantung infus --seringkali masih ada jarum dan darah, lalu ditemukan kit rapid test. Ini pelanggaran serius," ujar Bagong.

Dia berharap adanya peningkatan pengawasan dan penertiban sampai di tingkat komunitas dan akar rumput, apalagi masih ada titik pembuangan sampah liar.

KLHK sebelumnya telah mengeluarkan aturan pengelolaan limbah medis seperti Surat Edaran No. S-194/PSLB3/PLB.2/4/2020 perihal Pelaksanaan Pengelolaan Limbah B3 Medis dari Kegiatan Penanganan COVID-19 yang ditujukan kepada kepala Dinas Lingkungan Hidup di seluruh Indonesia.

Dengan adanya aturan itu, Bagong mendorong agar aturan tersebut didukung juga oleh instrumen pengawasan dan pembangunan infrastruktur terutama di luar wilayah Jawa dan Bali. Di mana masih belum meratanya fasilitas pengolahan limbah B3 di beberapa daerah.

"Fasilitas itu harus ada di seluruh Indonesia karena jumlah rumah sakit, klinik kesehatan, puskesmas terus bertambah, jumlahnya semakin banyak. Tentu fasilitas-fasilitas itu harus ditingkatkan," ujarnya.

Baca juga: LIPI ubah limbah masker jadi produk bernilai tambah

Baca juga: Menperin jajaki industri semen untuk kelola limbah medis


Pengelolaan ditingkatkan

Penanganan limbah B3 medis menjadi persoalan darurat yang harus menjadi perhatian, kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.

Pemerintah memandang persoalan limbah medis selama masa pandemi COVID-19 sebagai isu darurat yang harus segera ditangani.

Pemerintah akan bekerja sama dengan pabrik semen di berbagai wilayah untuk membantu pemusnahan limbah medis. Pemerintah juga menentukan lokasi prioritas untuk penanganan limbah medis seperti di rumah sakit dan fasilitas isolasi terpusat serta mandiri.

Melihat urgensi penanganan limbah medis, pemerintah kemudian mengalokasikan anggaran sekitar Rp1,3 triliun untuk memusnahkan limbah medis di masa pandemi COVID-19.

Dana itu berada di beberapa pos anggaran di Satgas Penanganan COVID-19, Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum. Presiden Joko Widodo meminta agar anggaran tersebut dapat digunakan untuk membangun alat-alat pemusnah sampah baik insinerator maupun pencacah.

Menteri LHK Siti Nurbaya sendiri menjelaskan bahwa ada tiga langkah utama KLHK dalam penanganan limbah B3 medis.

Langkah pertama adalah memberikan dukungan relaksasi kebijakan, terutama untuk fasilitas layanan kesehatan dengan insinerator belum berizin. Mereka diberikan dispensasi operasi dengan syarat insinerator suhu 800 derajat Celcius dan diberikan supervisi.

Langkah kedua, KLHK memberikan dukungan sarana mengingat pengelolaan limbah medis yang ada saat ini masih terpusat di Jawa, yakni lebih kurang 78 persen.

KLHK sendiri sejak 2019 sudah membantu pembangunan sebanyak 10 unit insenerator kapasitas 150 kg/jam dan 300 kg/jam seperti di Aceh, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat dan Kalimantan Selatan.

"Terhadap pengelolaan limbah medis ini, KLHK juga melakukan langkah ketiga, yaitu kegiatan pengawasan, dimana saat ini masih dalam fase pengawasan untuk pembinaan belum ke penegakan hukum pidana. Pesan utamanya tidak boleh membuang limbah medis ke TPA," ujar Siti dalam konferensi pers usai Ratas Kabinet tentang Pengelolaan Limbah Medis COVID-19.

Selain pengelolaan, Siti juga menyatakan KLHK akan mengembangkan dan menyempurnakan sistem serta berkoordinasi secara intensif dengan pemerintah daerah.

Sumbangsih peningkatan pengelolaan limbah medis juga dilakukan dunia riset Indonesia dengan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Akbar Hanif Dawam Abdullah menggunakan teknologi untuk mengubah limbah masker medis menjadi produk memiliki nilai tambah.

Dengan penggunaan masker medis yang meningkat signifikan akibat pandemi, peneliti di Loka Penelitian Teknologi Bersih (LPTB) LIPI itu menjelaskan limbah masker sekali pakai yang berbahan plastik dapat diubah menjadi biji plastik yang kemudian diolah menjadi produk seperti pot, bak sampah dan ember.

Untuk menghindari bocor ke lingkungan, maka limbah masker dapat diolah menggunakan teknologi ekstrusi.

Tidak hanya itu, LIPI juga mengembangkan teknologi insinerator untuk mengolah limbah medis skala kecil jenis masker dan APD.

Semua langkah itu dilakukan untuk mendukung langkah pemerintah yang memandang penambahan limbah medis sebagai persoalan darurat yang harus segera ditangani di masa pandemi.*

Baca juga: Indonesia hasilkan teknologi olah dan daur ulang limbah medis COVID-19

Baca juga: BRIN kembangkan teknologi pengolah limbah medis mobile

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021