Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menyebut pengurangan hambatan nontarif pada kebijakan sektor perdagangan pangan dapat berpotensi mengurangi angka kemiskinan.hambatan teknis secara berlebihan sudah terbukti memengaruhi harga komoditas pangan, terutama komoditas yang tergolong penting
"Implementasi berbagai bentuk NTM seperti kuota, inspeksi pra-pengiriman, dan hambatan teknis secara berlebihan sudah terbukti memengaruhi harga komoditas pangan, terutama komoditas yang tergolong penting," kata Felippa Ann Amanta di Jakarta, Minggu.
Ia mengemukakan bahwa hasil penelitian CIPS menunjukkan implementasi non tariff measures (NTM) memengaruhi harga komoditas pangan seperti beras dan daging, akibat biaya kepatuhan yang harus dikeluarkan.
Untuk itu, ujar dia, intervensi untuk mengurangi angka kemiskinan perlu dilakukan dari berbagai arah, termasuk lewat menurunkan harga pangan yang berkontribusi menghabiskan setengah dari pendapatan masyarakat berpenghasilan rendah.
Felippa memaparkan data BPS menunjukkan adanya kenaikan pada jumlah orang miskin di tahun 2021. Persentase penduduk miskin pada Maret 2021 sebesar 10,14 persen, meningkat 0,36 persen poin dibandingkan Maret 2020.
Sementara itu jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 sebesar 27,54 juta orang, bertambah sebanyak 1,12 juta orang dibandingkan Maret 2020.
"Penambahan jumlah penduduk miskin ini tidak lepas dari dampak ekonomi pandemi COVID-19 yang menyebabkan berkurang hingga hilangnya pendapatan sejumlah orang. Kondisi ini mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat, termasuk pada pangan," paparnya.
Penelitian CIPS memperkirakan penghapusan NTM pada beras akan memiliki efek terbesar pada kemiskinan, yaitu sebesar 2,52 persen poin. Sementara itu, karena daging bukan merupakan pilihan utama mayoritas rakyat Indonesia, penghapusan NTM diperkirakan mengurangi kemiskinan hanya sekitar 0,21 persen poin. Penghapusan NTM untuk beras dan daging akan berdampak sebesar 2,83 persen poin.
Sebelumnya, peneliti CIPS Arumdriya Murwani mengatakan pelonggaran hambatan atas kebijakan NTM akan meningkatkan status gizi penduduk.
”Kebijakan perdagangan Indonesia cenderung menggunakan kebijakan non-tarif. Kebijakan seperti ini diwujudkan dengan berbagai regulasi yang membatasi perdagangan internasional, seperti memberikan persyaratan izin impor yang bertele-tele, pembatasan jumlah importir dan masih banyak lagi,” ujar Arumdriya Murwani.
Menurut dia, pengurangan pembatasan atau hambatan dalam perdagangan pangan dapat meningkatkan ketersediaan, membuat harga lebih terjangkau, dan memperluas pilihan makanan yang dapat diakses masyarakat.
Meski semenjak krisis finansial Asia tahun 1998 banyak tarif impor telah dilonggarkan untuk berbagai barang, lanjut dia, namun tren peningkatan kebijakan proteksionisme perdagangan dalam bentuk kebijakan NTM juga terjadi.
Ia memaparkan, hambatan-hambatan seperti monopoli impor beras dan pembatasan pelaku impor, serta akses ke pasar daging sapi, berdampak pada harga pangan dalam negeri.
“Konsumsi daging sapi per kapita di Indonesia relatif rendah, yaitu sebesar 2,39 kg, dibandingkan dengan Filipina yang sebesar 3,25 kg dan Malaysia yang sebesar 4,8 kg. Kalau konsumsi daging sapi di Indonesia dapat menyamai angka tersebut, maka hal itu dapat menurunkan probabilitas stunting sebesar 0,41 persen dan 0,6 persen secara berurutan,” papar dia.
Baca juga: BPS: Angka kemiskinan bisa ditekan bila pengentasan fokus di Jawa
Baca juga: Menkeu: Perlinsos berhasil tahan kemiskinan RI tak ke level terburuk
Baca juga: Kemendag butuh dukungan kementerian lain, rumuskan hambatan nontarif
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2021