"Polusi udara dapat memperburuk gejala yang mengalami infeksi pernafasan, meningkatkan risiko dirawat, dan risiko kematian," ujar Feni dalam diskusi Daring yang dipantau dari Jakarta, Selasa.
Menurutnya, sebelum pandemi COVID-19, polusi udara yang buruk atau melebihi ambang batas berdampak terhadap kesehatan, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Di sisi jangka pendek, kualitas udara yang buruk dapat menyebabkan iritasi mukosa; mata merah, hidung berair, bersin, iritasi saluran nafas atas dan bawah, peningkatan ISPA, asma, serta serangan jantung, hingga peningkatan kunjungan IGD karena respirasi atau jantung.
Baca juga: Udara kotor perburuk COVID, varian Beta lebih maut daripada aslinya
Baca juga: Pakar: BBM berkualitas turunkan polusi udara
Sementara efek jangka panjang dapat menyebabkan penurunan fungsi paru, hiper reaktivitas bronkus, reaksi alergi asma, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), penyakit jantung, hingga risiko kanker.
Adanya pandemi COVID-19 yang juga menyerang sisi pernafasan bakal semakin memperburuk situasi pasien, apalagi bagi mereka yang telah memiliki gejala kronis. Risiko dirawat dan kematian menjadi semakin tinggi apabila tak segera tertangani.
"Polusi udara menurunkan fungsi pertahanan tubuh dan fungsi pernafasan untuk melawan virus atau bakteri yang mengganggu kesehatan," kata dia.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan ambang batas partikulat debu halus PM2.5 dalam 24 jam 55 mikrogram per m3. Angka itu lebih kecil apabila dibandingkan dengan ambang batas yang ditetapkan 25 mikrogram per m3 dalam 24 jam.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Bondan Andriyanu merangkum data harian baku mutu PM2.5 DKI Jakarta sejak 1 Juni hingga 5 Agustus. Pada Juni, rata-rata baku mutu udara ambient (BMUA) berada di bawah standar baku mutu atau di bawah 55 mikrogram per M3.
Namun saat masuk Juli, BMUA di atas 55 mikrogram m3 meningkat tajam atau statusnya berada dalam kondisi udara tidak sehat lebih dominan. Menurutnya, apabila kondisi udara terus berada di atas angka BMUA, akan sangat berpengaruh kepada kelompok masyarakat rentan (lansia/memiliki komorbid).
"Jadi kenapa saat Juni angka BMUA-nya rendah karena curah hujan tinggi dibandingkan saat PPKM Darurat (Juli), memungkinkan terjadi pencucian partikel di udara (saat hujan)," kata dia.*
Baca juga: Hari Lingkungan Hidup Sedunia, momen warga ibu kota transisi energi
Baca juga: Dokter ingatkan dampak buruk polusi udara saat pandemi
Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021