Deputi II Sekjen Bidang Advokasi dan Politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Erasmus Cahyadi, mengatakan, lembaganya sedang mendorong revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86/2018 Tentang Reforma Agraria agar lebih mengakomodasi kepentingan wilayah adat.... Hak kepemilikan bersama harus terbentuk dalam badan hukum berupa koperasi hingga perseroan terbatas. Itu tidak sesuai dengan realita yang dihadapi masyarakat adat dan seolah mereka bukan merupakan subyek hukum...
"AMAN sedang mendorong revisi Perpres itu," kata dia, di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan obyek reforma agraria yang diatur dalam Perpres itu yakni tanah terlantar maupun bekas hak guna usaha bekas tambang banyak yang merupakan wilayah adat. Namun, dia menilai Perpres belum bisa menjadi instrumen untuk mengembalikan wilayah adat ke masyarakat adat.
Baca juga: AMAN sebut perlu tekanan publik dalam upaya pengembalian wilayah adat
Perpres Reforma Agraria, menurut dia, lebih mengarah pada penerbitan sertifikat. Meskipun dalam Perpres juga diatur penerbitan bagi subyek kelompok masyarakat dengan hak kepemilikan bersama tetapi tidak disebut secara spesifik mengenai masyarakat adat.
Ia menyebut peraturan dalam Perpres itu tidak mudah untuk dimasuki oleh masyarakat adat sebagai subyek.
"Hak kepemilikan bersama harus terbentuk dalam badan hukum berupa koperasi hingga perseroan terbatas. Itu tidak sesuai dengan realita yang dihadapi masyarakat adat dan seolah mereka bukan merupakan subyek hukum," kata dia.
Baca juga: MRPB minta hak masyarakat adat dilindungi dalam Perdasus
Dalam perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia yang jatuh pada 9 Agustus kemarin, dia juga menyoroti peraturan lain di sektor pertanahan bagi masyarakat adat yakni Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional 18/2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.
"Melalui Permen ini sebetunya sektor pertanahan ikut 'latah' dengan sektor kehutanan karena pasal 3 menyebut menyerahkan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat ke dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku," katanya.
Baca juga: AMAN pertanyakan wilayah adat dalam satu peta
Artinya, kata dia, penatausahaan wilayah adat baru bisa dilakukan apabila mereka sudah diakui oleh kebijakan daerah yang mana peraturan seperti ini tidak ada sebelumnya di rezim pertanahan dan dapat dikatakan ikut "latah" dengan rezim kehutanan.
Ia juga menilai Permen berupaya menghindari konflik dengan mengecualikan penguasaan pihak ketiga dari obyek penatausahaan wilayah. Hal itu berarti jika tanah atau wilayah tersebut sudah diberikan izin oleh negara sebelumnya maka akan dikecualikan dari obyek penatausahaan.
Selain itu, dia menyatakan berdasarkan analisis terhadap peta-peta wilayah adat yang disusun secara partisipatif dan telah terverifikasi oleh Badan Registrasi Wilayah Adat, hanya 10 persen dari sekitar 11 juta hektare wilayah adat yang akan tersentuh regulasi itu.
Baca juga: AMAN luncurkan kajian ekonomi enam wilayah adat
"Sebesar 90 persennya sudah dikuasai baik yang berupa kawasan hutan maupun Areal Penggunaan Lain," katanya.
Oleh karena itu peraturan-peraturan yang ada dia nilai tidak mudah dimasuki oleh masyarakat adat dan perlu ditertibkan dengan membuat satu rute yang disepakati bersama dan tidak sektoral. "Seharusnya diatur dalam RUU Masyarakat Adat, namun dari draf saat ini masih jauh panggang dari api," ujar Cahyadi.
Baca juga: AMAN Bengkulu tuntaskan pemetaan wilayah adat Enggano
Pewarta: Muhammad Jasuma Fadholi
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021