Bukan perkara baru jika menengok lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan negara (rutan) di berbagai daerah sudah over kapasitas atau kelebihan hunian.
Per Selasa (10/8), jumlah narapidana di Indonesia 269.190 orang dari jumlah hunian normal 132.107 jiwa. Artinya, ada kelebihan 137.083 narapidana dari jumlah seharusnya. Sebanyak 50 persen lebih diisi warga binaan dengan kasus narkotika atau sekitar 137 ribu orang.
Meluapnya jumlah warga binaan di lapas dilatarbelakangi oleh banyak faktor. Salah satunya mengenai sistem peradilan pidana yang dianut di Indonesia dianggap menjadi pemicu membludaknya hunian lapas.
Sistem peradilan pidana saat ini masih berorientasi pada keadilan retributif atau memiliki makna kepada pembalasan. Padahal, sejak 1990 sudah ada perubahan paradigma hukum pidana.
Perubahan paradigma sistem peradilan pidana sejak 30 tahun lalu itu lebih menitikberatkan pada keadilan korektif, restoratif dan rehabilitatif.
Bila terjadi suatu tindakan kejahatan, maka ada relasi antara pelaku dan korban. Dalam hal ini keadilan korektif ditujukan kepada pelaku, keadilan restoratif ditujukan pada korban dan keadilan rehabilitatif diberikan pada korban dan pelaku.
Baca juga: ICJR keluarkan rekomendasi selamatkan rutan-lapas kelebihan kapasitas
Konsep tersebut lah yang diimplementasikan dalam paradigma hukum modern dan telah dipakai sejak 30 tahun lalu. Namun, sayangnya, hal itu belum bisa diterapkan di Indonesia. Padahal, jika sistem peradilan modern digunakan maka over kapasitas (kelebihan jumlah penghuni) di lapas bisa ditanggulangi.
Merujuk pernyataan Wamenkumham, yang menyatakan kelebihan hunian atau over kapasitas tidak bisa menyalahkan Kemenkumham, hal itu dikarenakan lapas merupakan "tempat pembuangan akhir".
Artinya, lapas yang berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) hanya bisa menerima kehadiran atau kedatangan orang-orang yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan tanpa bisa menolak.
Oleh karena itu, frasa "tempat pembuangan akhir" memiliki makna Kemenkumham tidak memiliki kuasa atau wewenang ikut campur apalagi memprotes bilamana ada narapidana yang dikirim ke lapas untuk menjalani masa hukuman atau pembinaan.
Untuk meminimalisir atau mengurangi "ledakan" jumlah narapidana di lapas maupun rutan, maka sudah sepatutnya pemerintah mencari solusi terbaik dan pas agar kelebihan kapasitas hunian bisa diatasi.
Penambahan jumlah lapas atau mendirikan gedung baru tentu saja bukan solusi terbaik saat ini. Kepolisian, kejaksaan dan pengadilan adalah instansi yang harus diajak untuk memecahkan ragam persoalan di "tempat pembuangan akhir".
Sebab, tak jarang para hakim ketika memutus sebuah perkara tanpa pikir panjang mempertimbangkan kondisi hunian lapas setempat yang rata-rata sudah over kapasitas. Akibatnya, tumpukan warga binaan terus terjadi.
"Ketika sudah ada eksekusi penuntut umum, suka atau tidak, lembaga pemasyarakatan akan menerima," kata Edward Omar.
Yang perlu digarisbawahi, dalam sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini, lapas sama sekali tidak terlibat dalam proses ajudikasi.
Baca juga: Over kapasitas, puluhan napi Lapas Amuntai dipindah ke Lapas Tanjung
Untuk itu, ke depan, sistem peradilan yang komprehensif dan holistik perlu dibangun agar masalah-masalah di lapas seperti over kapasitas bisa diatasi sesegera mungkin. Dengan kata lain, sistem peradilan pidana di Indonesia sudah selayaknya merujuk pada paradigma hukum pidana modern yang berlaku universal.
Solusi over kapasitas
Mengatasi over kapasitas lapas di Indonesia salah satunya bisa ditanggulangi melalui pengesahan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) menjadi undang-undang. Setidaknya ada tiga RUU yang terbilang mendesak untuk segera disahkan
Pertama, Rancangan Undang-Undang Narkotika. Dalam Undang-Undang tentang Narkotika terdapat beberapa pasal yang diamandemen dengan tujuan mengurangi over kapasitas.
Eddy Hiariej, sapaan akrabnya, bercerita saat awal-awal dilantik menjadi Wamenkumham. Ia diajak oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan Reynhard Silitonga mengunjungi Lapas dan Rutan Cipinang serta Rutan Salemba.
Saat berkunjung, ia mengaku miris menyaksikan over kapasitas hingga 300 persen yang sebagian besar penghuninya adalah narapidana kasus narkotika. Lebih memprihatinkan, sekitar 80 persen dari mereka merupakan pengguna bukan pengedar.
Pada umumnya para pengguna narkoba tadi mendekam di penjara karena kepemilikan barang bukti 0,4 hingga 0,5 gram dengan hukuman lima sampai enam tahun penjara.
Baca juga: Bappenas akui Indonesia belum sepenuhnya berhasil atasi narkotika
Dari 50 persen narapidana kasus narkotika seluruh Indonesia, pidana di bawah lima tahun dan telah berkekuatan hukum tetap sebanyak 25.590 orang. Kemudian, pidana lima sampai sembilan tahun sebanyak 73.023 orang dan pidana di atas 10 tahun sebanyak 13.234 orang.
Setiap tahunnya, tren kenaikan hunian lapas maupun rutan cenderung mengalami peningkatan dan umumnya disumbang oleh pidana kasus narkotika.
Pada 2016 jumlah hunian keseluruhan yakni 204.550 orang dimana 84.022 jiwa di antaranya merupakan narapidana kasus narkotika. Jumlah itu naik tajam pada 2019 dengan jumlah hunian 249.139 orang dan 125.708 di antaranya adalah kasus pidana narkotika.
Pada 2021 tren tersebut kembali naik. Jumlah hunian lapas dan rutan se-Indonesia mencapai 268.394 orang, dengan 136.655 orang diantaranya merupakan narapidana kasus narkotika.
Dalam studi kejahatan, para pengguna obat-obat terlarang dikenal sebagai kejahatan tanpa korban atau disebut juga sebagai korban. Sehingga, amandemen Undang-Undang Narkotika diharapkan orang yang murni sebagai pengguna tidak lagi dijatuhi pidana penjara tetapi rehabilitasi.
"Karena di dalam hukum pidana, selain ada hukuman penjara ada juga tindakan rehabilitasi," kata Eddy yang juga lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada itu.
Selanjutnya, RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga merupakan produk hukum yang amat mendesak untuk segera disahkan menjadi undang-undang. Alasannya, dalam RUU tersebut sudah mengadopsi hukum pidana modern yang tidak lagi melihat sarana balas dendam atau retributif, tetapi lebih kepada keadilan korektif, rehabilitatif dan restoratif.
Salah satu poin yang amat penting dalam RUU KUHP, meskipun pidana penjara masih jadi pidana pokok, tetapi bukan lagi menjadi yang utama. Ada empat sanksi pidana yang bisa dijatuhkan kepada pelaku kejahatan.
Baca juga: Eddy Hiariej: Keliru salahkan Kemenkumham terkait over kapasitas Lapas
Empat sanksi pidana tersebut yaitu denda, pengawasan, percobaan dan pidana kerja sosial. Dalam buku dua RUU KUHP ancaman hukuman pidana juga sudah disesuaikan.
Sebagai contoh, bila seseorang divonis bersalah dan dijatuhi pidana penjara di bawah empat tahun, maka hakim akan menjatuhkan pidana kerja sosial. Jika pidana penjaranya di bawah dua tahun, hakim akan menjatuhkan pidana pengawasan kepada terdakwa.
"Bahkan, untuk kejahatan tertentu bisa dijatuhi pidana denda," ujarnya.
Ke depan, dalam konteks peradilan hukum pidana harus ada perubahan paradigma. Keberhasilan penegakan hukum tidak lagi melihat berapa banyak kasus yang diungkap, tetapi keberhasilan sistem peradilan pidana diukur sejauh mana kejahatan bisa dicegah.
Singkatnya, dalam RUU KUHP tersebut pemerintah atau penegak hukum akan mengutamakan aspek pencegahan bukan lagi pada aspek penindakan atau represif.
Terakhir, selain RUU Narkotika dan RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan juga mendesak untuk segera disahkan guna mengatasi over kapasitas di Indonesia. Bila RUU tersebut disahkan menjadi undang-undang, maka lapas tidak lagi menjadi tempat pembuangan akhir tetapi sudah terlibat sejak awal dalam sistem peradilan pidana atau saat proses ajudikasi dilakukan.
Dengan adanya tiga RUU yang sedang dibahas oleh pemerintah dan DPR, diharapkan sistem peradilan pidana di Tanah Air beralih ke peradilan pidana modern.
Sehingga, sekelumit masalah pemasyarakatan dapat diatasi. Tidak hanya itu, jika hal tersebut berhasil diterapkan, tentunya bisa menghemat beban negara karena tidak lagi harus menanggung biaya narapidana di lapas atau rutan.
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021